Rabu, 24 Desember 2008

Marxisme sebagai ilmu pengetahuan

Definisi Marxisme sebagai sebuah teori kelas sosial tertentu sering dianggap bertentangan dengan klaimnya atas status ilmiah. Di satu pihak ada yang mengakui hubungan Marxisme dengan satu golongan sosial, dan menarik kesimpulan bahwa Marxisme bukan ilmu karena tidak obyektif. Pendekar terkemuka dari sudut pandang ini adalah sosiolog terkenal Karl Mannheim. Di pihak lain ada yang mengakui status ilmiah Marxisme, kemudian menarik kesimpulan bahwa gagasan Marxis tidak bisa hanya berasal dari sudut pandang proletariat, karena kaitannya dengan kelas buruh itu – begitu filsuf Perancis Louis Althusser -- "merendahkan Marxisme ke tingkat ideologi saja".

Pembantahan ini mencerminkan kebingungan teoritis dalam dua hal: pertama tentang sifat-sifat ilmu-ilmu alam, kedua tentang perbedaan antara ilmu alam dan ilmu sosial.

Ilmu alam dianggap memberi pengetahuan yang persis dan" obyektif" tanpa pengaruh sosial, makanya ilmu alam ini dianjurkan sebagai model untuk ilmu sosial yang ingin menjadi "obyektif". Namun anggapan terhadap ilmu alam itu justru adalah produk sosial, dan berasal dari persekutuan antara para ilmuan dan kaum borjuis dalam perjuangan mereka untuk menghapuskan masyarakat feodal dan membangun perekonomian industrial. Seperti kaum borjuis gambarkan hukum-hukum masyarakat kapitalis sebagai sebuah hal yang bersifat alamiah dan abadi, mereka juga menggambarkan hasil-hasil ilmu alam sebagai suatu kebenaran yang mutlak. Namun jika kita menyimak sejarah ilmu alam, kita akan melihat bahwa hasil-hasil itu merupakan sejumlah kebenaran yang bersifat sementara dan relatif. Kegiatan untuk memproduksi hasil-hasil ini dirangsang oleh kepentingan manusia, dan hasil-hasil tersebut hanya terbukti benar jika bisa memuaskank epentingan manusia tersebut. Makanya ilmu alam bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan sesuatu yang terus berubah dan berkembang.

Semua ilmu sosial termasuk Marxisme jelas memiliki batasan yang sama, tetapi ada juga perbedaan yang penting antara ilmu alam dan ilmu sosial. Ilmu alam bisa mencapai tingkat obyektivitas yang tidak bisa diraih oleh ilmu sosial.

Yang pertama, pengetahuan selalu merupakan hubungan antara yang tahu dan apa yang diketahui, antara subyek dan obyek. Dalam ilmu alam, obyek itu terletak di luar manusia. Sedangkan untuk ilmu sosial, obyeknya adalah masyarakat yang terdiri atas manusia. Alam dan hukum alam bukanlahc iptaan manusia seperti masyarakat dan hukum sosial. Dunia alam bisa dirubah oleh manusia -- tetapi cuma berdasarkan hukum-hukum alam yang tidak bisa dirubah. Sedangkan hukum-hukum sosial bisa diganti.

Jadi semua manusia mempunyai hubungan yang kurang-lebih sama dengan hukum-hukum alam, tetapi hubungan mereka dengan hukum-hukum masyarakat sangatlah berbeda. Sebagai akibat dari dalil gayaberat, seorang buruh dans eorang konglomerat yang jatuh dari puncak Monas akan menabrak bumi dengank ecepatan dan konsekwensi yang sama. Namun hukum-hukum ekonomi tidak mengakibatkan hasil yang sama untuk keduanya, melainkan menghasilkan kesengsaraan buat yang pertama, dan kemakmuran untuk yang kedua.

Rumusan ilmu alam "proletarian" dan ilmu alam "borjuis" bikinan Stalin adalah omong kosong. Namun seperti dijelaskan oleh Lenin, "harapan bahwa ilmu sosial bisa berlagak netral dalam sebuah masyarakat yang berdasarkane ksploitasi, adalah sebodoh dan senaif mengharapkan sikap netral dari kaumm ajikan dalam menentukan apakah gaji kaum buruh akan dinaikkan dengan mengurangi laba perusahaan".

Yang kedua, tujuan ilmu pengetahuan adalah membantu dalam upayanya untuk mengubah realitas – kenyataan alam atau kenyataan sosial. Kelas borjuis ingin mengubah lingkungan alam, dan memang terpaksa harus mengubahl ingkungan alam itu, untuk menghimpun modal (akumulasi). Makanya kelas borjuis tersebut membutuhkan ilmu alam. Namun kaum borjuis tidak ingin mengubah sistem sosial, sebaliknya ingin mengabadikan susunan masyarakat yang ada. Makanya di bidang sosial mereka lebih memerlukan ideologi defensif daripada pendekatank eilmuan. Itulah sebabnya sebagian besar kegiatan yang dipandang sebagai ilmu sosial oleh kaum borjuis sebenarnya bukan ilmu sama sekali, melainkan upayap embenaran struktur-struktur sosial yang ada dengan cara membodohi masyarakat.

Kadang-kadang, kelas kapitalis memang perlu mengubah kenyataan sosial dalam batasan-batasan tertentu – batasan sistem kapitalis – jadi ilmu sosial borjuis memang menghasilkan beberapa pengetahuan, dan pengetahuan ini bisa juga dipakai kaum sosialis untuk melawan kapitalisme. Tetapi pengetahuan tersebut selalu terletak dalam (dan dikungkungi serta di-distorsikan oleh)k erangka teoretis yang menghalangi pengertian dari kesuluruhan sistem sosial secara lengkap. Satu-satunya golongan yang berkepentingan serta berkemampuan untuk mencapai pengertian akan sistem sosial secara lengkap itu adalah kelas buruh. Seperti dikatakan Marx: "Timbulnya ide-ide revolusioner mensyaratkana danya sebuah kelas revolusioner." Maka, dasar status ilmiah dari Marxismea dalah hubungannya dengan kelas buruh tersebut.

Terkadang argumentasi tersebut dibantah dengan mengeluh bahwa ini terlalu membatasi relevansi Marxisme untuk kesuluruhan ilmu pengetahuan. Misalnya Georg Lucacs, pada tahun 1924 menyatakan bahwa "Materialisme historis [yaitu Marxisme – red.] adalah teori revolusi proletarian"; kemudian pendapatnya berubah: pada tahun 1967 dia mengecam "prasangka" yang "ingin mereduksi materialisme historis yang seharusnya universal kepada satu dimensi saja…" Tetapi pembantahan Lukacs ini salah arah. Definisi Marxisme sebagai ilmu proletarian tidak membatasi teori ini kepada analisis perjuangan kelas buruh ataupun kepada sistem kapitalis saja (walaupun ini jelas merupakan tugas utama kaum sosialis). Kita bisa saja menganalisis kesuluruhan sejarah umat manusia sampai zaman moderen dari sudut pandang kelas buruh. Contohnya tulisan Engels tentang proses munculnya manusia dari makhluk lebih primitif. Argumentasi utama tulisan ini adalah bahwa "pekerjaan merupakan syarat dasar dari kehidupan manusia … makanya kegiatan kerja ini yang mengadakanm anusia sendiri." Kesimpulan itu baru dapat ditarik berdasarkan pengertianM arxis tentang kegiatan kerja kelas buruh moderen yang dicapai Marx dan Engels tahun 1840-an.

Engels tak urung menegaskan tentang implikasi politik dari pengkajian antropologis yang dia lakukan, yaitu: "perlunya revolusi dalam mode produksi". Marxisme memiliki relevansi universal, justru karena ini berdasarkan pada kepentingan kelas buruh, yang disebut "kelas universal" oleh Marx –u niversal dalam arti kata kelas ini bisa membebaskan seluruh umat manusia. Dan universal pula karena tidak memerlukan golongan di atasnya untuk berkuasaa taupun golongan di bawahnya untuk dihisap, sehingga bisa meluas menjadi satu dengan umat manusia secara menyeluruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar