Rabu, 24 Desember 2008

"Yang aku tahu," canda Marx, "hanyalah, bahwa aku bukanlah seorang Marxis."

Di abad XX gurauan jenaka dialektis ini telah menjelma menjadi masalah politik yang amat serius. Kita sudah menyaksikan timbulnya banyak macam aliran "Marxis" yang berbeda-beda bahkan sering bertolak-belakang. Esai inib ertujuan untuk menulusuri kekusutun itu. Namun sebelum mulai, mungkin adab aiknya jika kita menjelaskan betapa rumitnya persoalan yang hendak kita diskusikan.

Bukan saja banyak orang yang mengaku Marxis yang memiliki pendapat berbeda mengenai masalah-masalah tertentu (katakanlah akan kecenderungan laju profit untuk turun, atau analisis terperinci tentang UniS oviet); itu wajar dalam setiap gerakan politik yang sehat dan teguh. Persoalannya jauh lebih rumit: bahwa kaum "Marxis" sering saling memenjara,m emerangi serta membunuh; yang lebih merisaukan lagi, bahwa dalam semua konflik sosial, ada banyak kelompok atau tokoh "Marxis" mengambil sikap yang sama sekali bertentangan. Misalnya Lenin dan Plekhanov [seorang tokoh sosial-demokrat] di Rusia tahun 1917; Partai Komunis dan partai revolusioner POUM di Spanyol masa pemberontakan di Barcelona tahun 1936; dan di Eropa Timur masa ambruknya blok Soviet. Kontradiksi inilah yang mendorong kita untuk melontarkan pertanyaan: mana tradisi Marxis yang sejati?

Ada yang samasekali menolak pertanyaan tersebut, denganm enyatakan, tidak ada poinnya mencari Marxisme yang "sebenarnya". Mereka puas dengan menerima semua klaim atas nama Marxis. Dari satu sisi pendekatan ini agak bermanfaat buat kaum pendukung ideologis sistem kapitalis, yang suka menyamakan semua aliran revolusioner dengan Stalin dan Pol Pot. Dari sisi lain pendekatan ini juga disukai oleh para "Marxolog" akademis, yang suka menulis "buku pegangan" tentang bermacam-macam aliran politik tanpa memihak. Tetapi pendekatan semacam itu terlalu pasif. Kita yang ingin bertindak secara praktis untukm emperjuangkan perubahan sosial, harus membedakan antara yang benar dan yang palsu.

Ada yang berupaya memecahkan masalah ini dengan menyamakan Marxisme dengan karya Marx sendiri, kemudian membandingkan karya tokoh politik lain dengan patokan itu. Namun ini pendekatan religius. Menurut FriedrichE ngels, Marxisme "bukanlah sebuah dogma melainkan harus memandu aksi", makanya teori tersebut harus terus hidup dan berkembang, harus mampu menganalisis alam nyata yang senantiasa mengalami perubahan – alam nyata yang sudah berubah secara dahsyat sejak meninggalnya Marx sendiri. Meskipun dengan alasan historis kita memberi nama Marx sendiri untuk teori Marxisme, tradisi ini tidak bisa direduksi secara dogmatis kepada karya-karyanya saja. Seperti yang Leon Trotsky tulis, "Pada pokoknya Marxisme adalah metode analisis: bukan analisis akan teks-teks saja melainkan terutama akan hubungan sosial."

Kutipan Trotsky ini menunjuk kepada suatu pendekatan lain yang diterapkan oleh Georg Lukacs. Dalam bukunya Sejarah dan Kesadaran Kelas (Geschichte und Klassenbewusstsein, atau History and Class Consciousness),L ukacs bertanya, apa itu Marxisme? Jawabannya:

Marxisme ortodox tidak … berarti menerima tanpa kritik segala hasil karya penyelidikan Marx. Bukan berarti ‘percaya’ kepada tesis ini atau itu, atau pengkajian sebuah kitab suci. Sebaliknya, istilah ‘ortodox’ hanya berkenaan dengan masalah metode.

Usulan ini jauh lebih berbobot dari usulan sebelumnya. Lukacs mengerti bahwa teori kita harus terus berkembang. Metode dialektis ini adalah unsur penting dalam gagasan Maxisme. Meski begitu, pendekatan Lukacs tidaklah memadai. Tidaklah mungkin untuk membuat batas pemisah yang mutlak antara metode Marx dan analisis Marx lainnya, atau mereduksi isi pokok teorinya pada metode belaka. Umpama yang dianjurkan oleh Lukacs sendiri justru memperlihatkan kesalahannya:

"Biar kita taruh misalnya," tulisnya, "bahwa penelitian moderen telah menyangkal semua tesis Marx secara tersindiri. Kalaupun itu terbukti,s eorang Marxis ‘ortodox’ bisa saja menerima semua hasil penilitian tersebut tanpa ragu-ragu, kemudian menolak keseluruhan tesis Marx, tanpa meninggalkan sikap ortodoksnya sedikit pun."

Argumentasi ini tidak meyakinkan. Misalnya, seandainya sistem kapitalis menjelma menjadi masyarakat birokratis internasional tipe baru tanpa kontradiksi dan persaingan intern, maka Marxisme (yang mendasarkan diri pada kontradiksi dan perjuangan ekonomi, sosial dan politik) terang terbukti salah. Dan kaum pemikir seperti James Burnham yang meramalkan akan perkembangan demikian terbukti benar. Seperti yang ditulis Trotsky saat membicarakan kemungkinan tersebut, dalam kasus semacam itu "hanya tinggal mengakui bahwap rogram sosialis, yang mendasarkan diri pada konstradiksi intern kapitalisme, ternyata utopia saja."

Kita mungkin bisa tergoda untuk mendefinisikan Marxisme sebagai sebuah metode yang disertai dengan sejumlah analisis serta anjuran utama. Namun ini hanya akan menimbulkan pertanyaan lain, yaitu, analisis dan anjuran mana yang utama, dan mana yang sekunder? Bagamaina caranya agar bisa lolos daril ingkaran setan ini? Caranya ialah bukan dengan usaha yang sia-sia untuk menarik tesis abstrak tertentu dari karya Marx, melainkan dengan menggunakan teoriM arxis untuk menyimak Marxisme sendiri secara utuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar