Rabu, 24 Desember 2008

Materialisme

Sekarang kita harus berpaling dari program Marxisme ke dasar teori itu: materialisme historis dan analisa kritis terhadap kapitalisme.

Materialisme historis tersebut dasarnya apa? Masalah ini bisa ditelusuri secara analistis (dengan membahas konsep-konsep dan gagasan-gagasan teori itu) atau secara historis (dengan melacak asal-usulnya dan perkembangannya dalam karya Marx). Dari kedua pendekatan tersebut, cara analistislah yang lebih bermanfa’at, karena perkembangan historis dari sebuah teori bisa saja mencakup segala macam faktor kebetulan serta pemutaran.

Mari kita mulai dari masalah materialisme dan idealisme.I dealisme (sentimen agama atau filsafat yang menganggap jiwa, pikiran atauk esadaran manusia sebagai faktor penentu dalam perkembangan sejarah) sebetulnya mempunyai dasar material. Idealisme muncul dari pembagian kerja antara pekerjaan intelektual dengan pekerjaan tangan dan timbulnya sebuah kelas dominan yangl epas dari pekerjaan tangan – yaitu sebuah kelas yang hidup dari hasil kerja orang lain. Sedangkan materialisme adalah teori yang timbul secara wajar did alam sebuah kelas buruh yang harus memperjuangkan pembebasan. Tetapi jelas kita tidak boleh mengidentifikasikan materialisme historis hanya dengan materialisme saja. Materialisme sudah muncul 2000 tahun sebelum lahirnya Marx, dan di abad ke-18 materialisme malah menjadi pendirian kelas borjuis. Apa yang membedakan materialisme Marxis dari materialisme borjuis? Menurut Marx (dalam TesisT entang Feuerbach):

Kekurangan utama dari semua materialisme yang ada sampais ekarang -- termasuk materialisme Feuerbach -- ialah bahwa halihwal, kenyataan, kepancainderaan, digambarkan hanya dalam bentuk benda atau renungan, tetapit idak sebagai aktivitas pancaindra manusia, praktek, tidak secara subyektif.

Artinya, materialisme borjuis melihat manusia sebagai makhluk pasif, sebagai hasil atau efek dari kondisi materiil – sebagai obyek. Ini memang mencerminkan keadaan sehari-hari manusia dalam masyarakat kapitalis: si buruh yang dikuasai oleh mesin di pabrik, kerja sebagai "faktor produksi" yang tidak dibedakan dari faktor lain seperti tanah atau mesin, dsb. Namun materialisme mekanis ini tidak mampu menjadi 100% konsisten; orang tidak bisa hidup menurut filsafat yang 100% fatalistis. Maka materialisme itu selalu menyembunyikan pasal kekecualian yang memperbolehkan idealisme masuk melalui pintu belakang, sebagai "pengetahuan", "ilmu" atau terkadang "kehendak" para elit:

Ajaran materialis bahwa manusia itu adalah hasil dari keadaan dan didikan, dan bahwa, oleh karenanya, manusia yang berubah adalah hasilk eadaan-keadaan lain, dan didikan yang berubah, melupakan bahwa manusialah yang mengubah keadaan dan bahwa pendidik itu sendiri memerlukan pendidikan. Karena itu, ajaran ini menurut keharusan sampai membagi masyarakat menjadi dua bagian, yang satu diantaranya lebih unggul daripada masyarakat.

Marx mengatasi kontradiksi ini melalui konsep praktek. "Terjadinya secara bersamaan perubahan keadaan dengan perubahan aktivitasm anusia bisa dibayangkan dan dimengerti secara rasional hanya sebagai praktek yang merevolusionerkan." Model untuk konsep ini adalah kerja manusia; kerja yang mengubah lingkungan alam dan juga menciptakan manusia sendiri. Menurut Marx, pengertian Hegel atas aspek ini merupakan keberhasilannya yang utama. NamunH egel hanya mengerti kerja tersebut sebagai "kerja mental yang abstrak". Marx dapat berpikir lebih lanjut, sampai berhasil menjungkirbalikkan gagasan Hegel ini; dia berhasil mengidentifikasi kerja manusia yang konkrit dan praktiss ebagai dasar perkembangan sejarah. Ini dimungkinkan, karena Marx sempat menyaksikan kerjaan dan perjuangan kelas buruh – suatu golongan sosial yang mampu untuk mentransformasikan dan menguasai sistem sosial. Konsep tentangp eranan kerja, produksi dan kelas buruh ini yang menjadi titik tolak teorih istoris Marxisme.

Mulai dari titik tolak itu Marx mengembangkan konsep-konsep seperti "kekuatan produksi", "hubungan produksi" dan "mode produksi" yangb ermuara dalam teori revolusi sosial. Di dalam masyarakat, manusia mamasukih ubungan-hubungan produksi yang mencerminkan tahap-tahap tertentu dalam perkambangan kekuataan produksi. Hubungan-hubugan tersebut merupakan struktur ekonomi masyarakat, dan di atas dasar itu timbul sebuah superstruktur legal dan politik, dan kesadaran sosial tertentu. "Pada tahap-tahap tertentu, kekuataan produksi materiil masyarakat bentrok dengan hubungan produksi yang ada. Hubungan itu berubah dari bentuk perkembangan kekuataan produksi menjadi belenggu-belenggu untuk perkembangannya. Kemudian mulailah era revolusi sosial."

Di sini kita harus menerangkan satu masalah. Materialisme historis sering mengalami distorsi mekanis, di mana dialektika antara kekuatan dengan hubungan produksi ditafsirkan sebagai antagonisme antara alat-alat teknis dan sistem kepemilikan swasta. Kedua unsur itu dimengerti seperti sesuatu yang independen dari manusia – sebuah determinisme teknologis. Maka kedua konsep Marxis tadi direduksi artiannya. Namun buat Marx sendiri kekuataan produksi bukan hanya alat-alat seperti palu atau mesin,m elainkan semua kapasitas produktif kelas buruh: "…kekuatan produktif yang terbesar ialah kelas revolusioner sendiri." Di lain pihak, kepemilikan swasta hanya merupakan "ucapan legal dari hubungan produksi". Maka kontradiksi antara kekuataan dengan hubungan produksi bukan sesuatu yang terpisah dari perjuangan kelas, melainkan perjuangan tersebut muncul dari, dan berlangsung atas dasar kekuataan dan hubungan tersebut.

Dengan menelusuri perkembangan materialisme secara teoretis kita telah membuktikan bahwa materialisme historis tidak lain adalah sejarah yang dilihat dari sudut pandang proletariat. Analisis asul-usul historis menuju ke kesimpulan yang sama. Pernyataan pertama tentang materialisme historis terdapat dalam buku Ideologi Jerman yang terbit pada tahun 1845. Sebelum itu terbit dua buku lain yang penting, yakni Naskah-Naskah Ekonomi danF ilosofis dan Pengantar Kritik Terhadap Filsafat Hukum Hegel yang terbit pada tahun 1844. Naskah-Naskah tidak mulai dengan rumusan tentang "filsafat" atau "alienasi" melainkan dengan perjuangan kelas. Kalimat pertama menyatakan bahwa "Tingkat upah ditentukan oleh perjuangan pahit antara sik apitalis dan si buruh." Analisis ekonomi yang dimuat dalam buku tersebut masih kurang matang; tetapi analisis itu secara terang-terangan dijelaskan dari sudut pandang kaum buruh yang menjadi "barang dagangan" dalam masyarakat kapitalis. Kesengsaraan kaum buruh semakin meningkat dengan naiknya produktivitas kerja, sedangkan masyarakat semakin terbagi dua -- antara kelas pemilik modal dan kelas buruh yang tidak memiliki apa-apa.

Untuk menjelaskan keadaan itu Marx menganalisis kerja kaum buruh. Kaum buruh menghasilkan kekayaan buat kaum pemilik modal sekaligusm emproduksi kesengsaraan diri sendiri karena kerja mereka teralienasi (terasing). Maka Marx melihat peranan kerja yang mendua: kerja produktif sebagai cara untuk menciptakan masyarakat, dan kerja teralienasi sebagai cara kaum buruh menciptakan sistem serta kelas dominan yang menindas dan menghisap mereka sendiri. Dalam kontradiksi ini Marx juga melihat harapan akan masa depan: dengan menghapuskan kerja teralienasi itu, pembebasan manusia dapat tercapai. Jadi dalam Naskah-Naskah tahun 1884 Marx sudah mengantisipasi titik tolak dan juga kesimpulan-kesimpulan pokok materialisme historis.

Namun jika kita mundur satu langkah dan menyimak Pengantar ke Kritik Terhadap Filsafat Hukum Hegel (awal 1844) kita sudah mendapati apa yang akan timbul lagi kelak sebagai hasil materialisme historis, yaitu peranan revolusioner proletariat. "Tatkala proletariat menyatakan pembubaran tatanan masyarakat yang ada, mereka hanya membuka rahasia eksistensi mereka sendiri, karena proletariat ialah pembubaran tatanan tersebut." Seperti sudahd icatat di atas, pengakuan Marx atas peranan itu justru berasal dari pengamalannya diantara kalangan buruh revolusioner di Paris. Maka baik secara teoretis maupun historis, rumusan-rumusan Marx tentang sejarah dan masyarakat bisa dilacak kembali ke asal materiilnya, yaitu perjuangan proletarian.

Analisis Marxis tentang kapitalisme (yang biasanya disebut "ekonomi Marxis" walau sebenarnya merupakan "kritik terhadap ekonomi politik") dimaksudkan untuk menyediakan dasar ilmiah yang kuat untuk gerakan buruh dengan menjelaskan hukum pergerakan mode produksi kapitalis. Sudah jelas, bahwa semua analisis ini dijalankan dari sudut pandang kelas buruh revolusioner, dengant esis pokok sebagai berikut: analisis eksploitasi, bukti bahwa seluruh tatanan sosial berdasarkan eksploitasi itu, serta ramalan bahwa sistem kapitalisme harus ambruk persisnya karena dasar eksploitatifnya tersebut. Meskipun begitu, aspek Marxisme ini begitu sering diajukan sebagai sesuatu yang "obyektif" sehingga beberapa catatan diperlukan tentang asal-usal dan logika kritik Marx terhadap ekonomi politik itu.

Kritik Marx tentu saja merupakan penerapan materialismeh istoris pada mode produksi kapitalis, dan seperti materialisme historis sendiri, kritik tersebut berakar dalam analisis kerja – lebih tepatnya kerja teralienasi. Nota bene, ini bukan teori tentang perasaan subyektif kaum buruh terhadap kerja, atau tentang kesadaran umat manusia pada umumnya¸ melainkan sebuah teori yang persisnya membahas kerja yang teralienasi – dengan kata lain, kerja yang harus dijual pada orang lain. (Kata "alienate" juga berarti menjual sesuatu pada orang lain yang "asing".) Kerja teralienasi ialah kerja yang diupah (wage labour) – dia bukan hanya kondisi dalam otak orang tetapi juga merupakan fakta ekonomi yang konkrit. Namun fakta ini hanya dapat dilihat atau dirasakan dari sudut pandang kelas buruh. Marx adalah seorang "filsuf" dan" ekonom" yang pertama dalam sejarah yang meneliti proses kerja dari sudutp andang kaum buruh. Betapa pentingnya teori alienasi bagi analisis Marxist erhadap kapitalisme dapat dilihat dari dua aksioma Marx. Yang pertama, bahwa: "walau kepemilikan swasta tampaknya dasar dan sebab dari kerja terasing, sebenarnya ialah akibatnya". Yang kedua: kapitalisme mempunyai sifat dasar,b ahwa tenaga kerja menjadi barang dagangan.

Marx menempuh jalan teoretis yang sangat panjang dari Naskah Naskah sampai ke Das Kapital, dari kerja terasing dan teori nilai lebih. Sepanjang jalan ini, kritik generis yang dikembangkan Marx semasa masih muda tentang kapitalisme secara umum, telah ditransformasikan dengan upaya yang telaten sehingga menjadi alat analistis tajam yang sangat efektif untuk menelusuri semua seluk-beluk perekonomian kapitalis. Namun konsep awal tentang kerja teralienasi itu tidak dilupakan apalagi dipungkiri, melainkan tetapm enjadi jantung dari analisis Marx. Dalam Das Kapital Marx berkali-kali mengungkit masalah alienasi.

Akhirnya kita harus menyinggung teori Marxis tentang krisis ekonomi, khususnya komponennya yang utama, kecenderungan laju profit untukt urun. Kecenderungan tersebut bukan tesis tersendiri yang dapat diisolasikan dari gagasan-gagasan Marx lainnya, melainkan merupakan titik pertemuan buats emua teori pokoknya. Kecenderungan laju profit untuk turun berasal dari teori nilai lebih dan teori alienasi. Menurut teori nilai lebih, jam kerja yang tak terbayar dari kaum buruh adalah sumber profit. Menurut teori alienasi, di bawah kapitalisme "kerja hidup" (living labour alias kelas buruh) semakin dikuasai oleh "kerja mati" ("dead labour" alias modal). Kecenderungan tersebut jugam erupakan akibat konkrit dari konflik antara kekuatan dan hubungan produksi. Itu membuktikan bahwa hubungan produksi kapitalis telah menjadi belenggu untukp erkembangan kekuataan produksi – seperti dalam kata-kata Marx: "rintangan pokok untuk modal adalah modal sendiri". Lagi pula (dan dengan ini kita kembali ke titik tolak diskusi ini) gagasan tentang kemerosotan laju profit hanya dapat dirumuskan dari sudut pandang proletariat. Para ahli ekonomi borjuis sudahm engamati kecenderungan tersebut, namun mereka tidak mampu untuk mengembangkan sebuah penjelasan teoretis, karena ini hanya mungkin dengan mengakui bahwas istem kapitalis bukanlah sesuatu yang abadi.

Beberapa golongan "Marxis" menganggap analisis Marx tentang kontradiksi kapitalisme sebagai sesuatu yang terpisah dari komitmennya kepada revolusi proletarian. Seorang penganut dari anggapan tersebut masa kini adalah Lucio Colletti, tetapi argumentasi yang mirip sudah diajukan oleh pemikirI nternasionale Kedua (sosial-demokrat) Rudolph Hilferding. Menurut Hilferding, bila kita mengakui adanya suatu keperluan, belum pasti kita harus menyetujui dan ikut memenuhi keperluan tersebut. Dia menarik kesimpulan bahwa manusia membutuhkan komitmen etis tambahan untuk beralih dari keadaan obyektif (das sein) dari ambruknya perekonomian kapitalis sampai ke "keharusan" (das sollen) untuk menerapkan sosialisme. Namun dalam hal ini Hilferding telah menjungkir-balikkan logika Marxisme. Komitmen Marx terhadap kelas buruhlah yang memungkinkan pembukaan kontradiksi kapitalisme, dan pada gilirannya "keharusan" komitmen itu berasal dari kelas buruh sendiri yang sudah mulai berjuang untuk emansipasi.

Telaah kita sejauh ini dapat diringkas sebagai berikut. Di bidang teori, revolusi proletarian tampaknya sebagai akibat dari teori materialisme, teori nilai lebih dsb, tetapi sebetulnya revolusi itu adalah dasar dari semua teori tersebut. Buktinya adalah, bahwa pada umumnya revolusi-revolusi buruh dimulai secara spontan – Paris tahun 1848 dan 1872, Rusia 1905 dan 1917, Jerman 1918, Spanyol 1936, Hungaria 1956, Perancis 1968. Peranan Marxismeb ukannya untuk menciptakan atau meluncurkan revolusi itu, melainkan untukm emandunya ke kemenangan.

Sekarang kita berada dalam kedudukan yang baik untuk mamahami kesatuan dan perkembangan Marxisme. Keduanya berdasarkan pada perjuangan proletarian melawan kelas kapitalis. Dalam perjuangan tersebut kedua kekuatan raksasa ini bentuknya secara terus-menerus berkembang serta berubah. Hubungan aksi-reaksi antara mereka dan golongan sosial lainnya berkembang pula. Sehingga Marxisme juga harus berubah dan berkembang, namun tanpa beranjak dari sudutp andang revolusi proletarian. Jika beranjak dari sudut pandang itu, bukanM arxisme lagi. Menurut Lenin, Marx telah "meletakkan batu-batu sendi ilmu[ Marxis]; kaum sosialis harus maju dari sini ke seluruh jurusan bila merekat idak ingin ketinggalan zaman." Gagasan-gagasan yang disebut "revisonisme"b erusaha untuk memindahkan batu-batu sendi tersebut; mereka meninggalkan sudut pandang kelas buruh dan berpindah ke sudut pandang kelas-kelas lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar