Rabu, 24 Desember 2008

Nasionalisme Dunia Ketiga

Marxis yang pertama yang melihat peranan penting yang bisa dimainkan oleh gerakan kemerdekaan di Dunia Ketiga adalah Lenin. Dalam analisanya tetang imperialisme dia membuktikan "perbudakan secara kolonial serta finansial terhadap mayoritas besar penduduk sejagad oleh sebuah minoritas kecil negeri kapitalis terkaya dan termaju" dan meramalkan bahwa keadaan ini akanm enyebabkan sebuah gelombang pemberontakan dan perang anti-kolonial. Apa yang Lenin bayangkan ialah sebuah aliansi global antara revolusi proletarian, terutama di barat, dengan perjuangan kemerdekaan nasional, terutama di timur, untuk menghancurkan sistem imperialis malalui sebuah gerakan menjepit. Makanya dia menekankan pentingnya buat kaum komunis untuk mendukung perjuangan nasional tersebut.

Di saat yang sama, Lenin mengerti bahwa strategi ini mengandung resiko, ialah mengaburkan perbedaan yang dilakukan kaum Marxis "antara kepentingan kelas-kelas tertindas, rakyat pekerja yang dieksploitir, dan konsep umum tentang kepentingan nasional yang memang berarti kepentingan kelas penguasa." Maka tesis-tesis yang diajukan oleh Lenin di Kongres Kedua Komintern menegaskan:

…perlunya sebuah perjuangan nekad dalam melawan setiap upaya untuk memberikan perwarnaan komunis kepada aliran kemerdekaan borjuis-demokratik di negeri-negeri terbelakang … Internasional Komunis harus bersekutu secara sementara dengan pihak borjuis-demokratis di negeri-negeri terjajah, tetapi tidak boleh berfusi dengan mereka; dan harus selalu menjunjung tinggi independensi gerakan proletarian, meskipun gerakan itu masih bersifat embrional.

Lenin juga memperingatkan akan "tipu muslihat yang dipraktekkan secara sistematis oleh negara-negara imperialis" dengan membentuk negara baru yang independen secara politis-formal, tetapi masih bergantung secara ekonomi dan militer pada pihak imperialis. Maka dia menarik kesimpulan:

Di bawah kondisi-kondisi yang ada dewasa ini, negeri-negeri yang lemah tidak bisa menyelematkan diri selain dalam sebuah perserikatan republik-republiks oviet … Sebuah kemenangan yang mutlak dalam perjuangan anti-kapitalis tidak dapat tercapai sebelum proletariat, dengan dukungan massa rakyat pekerja semua bangsa di dunia, bersatu secara sukarela.

Namun di bawah Stalin kebijakan Komintern, yang mulai mencari sekutu-sekutu borjuis untuk negara Soviet, menuju ke arah yang persis dikhawatirkan oleh Lenin. Contoh klasiknya adalah kasus Cina pada tahun 1925-27, dimana Partai Komunis tidak hanya masuk partai nasionalis-borjuis Kuomintang, tetapi juga menerima pelarangan semua kritik terhadap gagasan dari pemimpinp ertama Kuomintang, Sun Yat-sen, dan bahkan menyerahkan sebuah daftar angota Partai Komunis kepada kepemimpinan Kuomintang itu. Pemimpin utama Kuomintang, Chiang Kai-shek, dijadikan anggota kehormatan Internasional Komunis.

Proses memberikan "perwarnaan komunis" kepada gerakan nasional borjuis serta memfusikan komunisme dengan nasionalisme borjuis dipercepat seusai Perang Dunia II, ketika bantuan kepada sejumlah perjuangan kemerdekaan menjadi taktik yang penting dalam perang dingin. Di tahun 1950-an dan 1960-an, hampir semua rezim atau gerakan nasionalis di Dunia Ketiga mengatasnamakan "sosialisme", dan tidak sedikit yang mengaku "Marxis", sedangkan di barats ebagian besar gerakan kiri -- termasuk beberapa kelompok berlatarbelakangT rotskyis -- menarik kesimpulan bahwa perjuangan kemerdekaan nasional danr evolusi sosialis adalah sama saja.

Gerakan-gerakan kemerdekaan nasional itu teori dan prakteknya sangat beraneka-ragam, sehingga kita tidak bisa mengambil salah-satunya sebagai contoh yang representatif. Sebagai pendekatan alternatif, mari kita mengambil satu unsur yang sering muncul dalam beraneka-macam perjuangan nasional, yaitu perang gerilya sebagai strategi untuk memperjuangkan kemerdekaan.

Perang gerilya mengharuskan kaum pejuang untuk berpindah keluar kota ke pedesaan. "Marxis" yang pertama yang mengambil langkah ini adalah Mao, setelah hancurnya kelas buruh dan Partai Komunis di kota-kota besar sebagaia kibat strategi Stalin tadi. Motifnya adalah untuk menyelamatkan sejumlah kader komunis yang masih hidup. Ketika pangkalan Maois yang pertama diserang oleht entara Chiang Kai-shek, para gerilyawan terpaksa melakukan "long march" yang amat jauh dari Cina selatan ke daerah Yenan.

Namun perang gerilya menyebakan sebuah pergeseran bukan hanya dalam lokasi perjuangannya, tetapi juga dalam isi sosialnya. Seorang buruh tidak bisa menjadi gerilyawan tanpa berhenti menjadi buruh, dan kebanyakan kelas buruh tidak bisa berpartisipasi dalam perjuangan gerilya di pedesaan. Makanya kelas buruh mesti diganti oleh kelas lain. Kelas yang mana? Jawaban yang biasanyad iajukan oleh para teoretikus perang gerilya adalah: kelas petani.

Kita sudah melihat betapa fundamentalnya peranan kelas buruh untuk mengadakan revolusi sosialis. Tetapi mungkin ada baiknya kita mengulangi argumentasinya secara ringkas: dalam gagasan Marxis, proletariat bukanlah sebuah alat tok yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan revolusioner tertentu. Sebaliknya, revolusi sosialis adalah alat yang dipakai kelas buruh untuk memperjuangkan pembebasannya. Karena hanya kelas buruh yang berkaitan dengan, dan yang bisa menguasai kekuataan serta hubungan produksi untuk membawa umat manusia ke sebuah masyarat yang tanpa kelas.

Dengan disuntikkanya teori "sosialisme dalam satu negeri" ke dalam tubuh Marxisme terjadi sederetan revisi lain yang agak drastis. Demikian juga teori tentang revolusi petani melalui perang gerilya meniadakan semua dasar teoretis dari materialisme historis. Kaum tani bukanlah hasil kapitalisme,m elainkan produk hubungan produksi pra-kapitalis. Seandainya kelas petani adalah kelas sosialis, maka revolusi sosialis telah mungkin terjadi seribu tahun yang lalu. Kapitalisme dan revolusi industri tidak lagi menjadi tahapan yang diperlukan secara historis, dan peranan kekuatan produksi sebagai faktor-faktor penentu juga tidak penting lagi. Yang diperlukan hanya ketekunan dan ide-ide.

Dan mentalitas ini memang menonjol dalam pikiran kaum Maois, termasuk beberapa tokoh intelektual di barat yang pro-Maois, beranggapan bahwa sosialisme bisa saja dibangun di dalam kerangka perekonomian nasional di Cina atau dimana saja, betapapun terbelakangnya, kalau saja ada pemimpinan yangb enar. Mentalitas yang sama muncul dalam pendekatan Castro-Guevara-Debray, yang beranggapan bahwa kita tidak perlu menunggu sampai kondisi-kondisi obyektifm ematang -- karena kaum revolusioner sendiri (yaitu kaum gerilyawan) bisam enciptakan kondisi baru. Hasil pendekatan ini bukan materialisme Marxis,m elainkan idealisme yang ekstrim.

Mao masih mengucapkan sentimen-sentimen tentang "perananp emimpin kaum proletarian" yang akan membimbing kelas petani. Tetapi sebetulnya, proletariat tidak berperan sama sekali dalam revolusi tahun 1949. Mao bahkan menulis pada tahun itu: "Diharap supaya semua buruh dan karyawan di semua bidang akan bekerja tetap dan semua perusahaan akan berjalan seperti biasa." Maka" kepemimpinan proletarian" hanya bisa berarti kepemimpinan Partai Komunis.M engingat bahwa jumlah buruh yang ikut partai tersebut hanya sedikit, maka" pimpinan proletarian" hanya berarti "ideologi proletarian", yang sebenarnya merupakan program Stalinis. Sekali lagi kita melihat peranan idealisme dis ini.

Idealisme semacam itu merajalela dalam pemikiran Mao. Menurut dia, Uni Soviet menjelma dari diktatur proletariat menjadi diktatur borjuis( bahkan fasis) hanya karena Stalin diganti dengan Khrushchev. Istilah-istilah seperti borjuis, tuan tanah, proletariat dsb dipakai sebagai etiket moral tanpa merujuk kepada kelas sosial yang nyata. Sehubungan dengan mentalitas ini terjadi juga pengkultusan yang menggelikan terhadap Mao sendiri sebagai "Sang Surya Yang Tidak Pernah Tenggelam".

Menarik untuk dicatat bahwa kultus Stalin baru timbul setelah dia berkuasa, karena kelas buruh tidak pernah mentolerir pengkultusan semacam ini, sehingga Stalin harus menghancurkan kelas buruh sebelum mengkultuskan diri. Sedangkan kultus Mao dimulai jauh sebelumnya, dan ini merupakan fenomena yang sangat umum dalam gerakan petani. Kita sudah menyaksikan kultus lain yang mirip dalam kasus Kim Il Sung, Fidel Castro, bahkan Sukarno yang sering diidolakan. Hal ini memang umum dalam bermacam-macam gerakan yang non-proletarian .

Di sini Marxisme diputarbalikkan. Bukan kehidupan sosial yang menentukan kesadaran manusia, melainkan kesadaran kaum pemimpin yang harusm enentukan kehidupan materiil massa rakyat. Tetapi sebetulnya, teori idealis ini juga berasal dari kondisi-kondisi materiil tertentu. Filsafat idealisme selalu timbul dalam golongan-golongan yang hidup dengan cara menghisap hasil jerihp ayah orang lain. Setelah kesuksesan perang gerilya mereka, orang-orang seperti Mao, Castro dan Sukarno memang memimpin kelas-kelas penguasa baru. Dan hubungan elitis antara kaum pemimpin dan massa rakyat sudah bisa dilihat sebelumnya.

Watak kelas petani telah dijelaskan oleh Marx dalam tulisannya Tanggal 18 Brumaire Louis Bonaparte. Menurut Marx, "kaum tani tidak bisa mewakili diri mereka sendiri, mereka harus diwakili oleh pihak lain. Wakil itu harus sekaligus menjadi tuan mereka, sebuah pihak berwenang di atas mereka,s ebuah kekuasaan pemerintahan tak terbatas yang melindungi kaum tani darik elas-kelas lain, serta mengirim mereka hujan dan sinar matahari dari langit."

Di sini Marx membicarakan sifat yang paling mendasar dari kelas petani, sebuah sifat yang ditentukan oleh kondisi obyektif kehidupan mereka: ketidakmampuan mereka untuk membebaskan diri. Kaum tani memang bisa berjuang, terkadang dengan tekad yang luar biasa, tetapi tidak bisa menjadi kelas penguasa dalam masyarakat. Pedesaan bisa mengalahkan perkotaan dalam sejumlah pertempuran, tetapi tidak bisa menaklukkannya, karena desa-desa tidak bisam emerintah kota-kota, dan di kotalah terletak kekuataan produksi yang paling menentukan. Hal ini dibuktikan berkali-kali dalam sejarah, dari pemberontakan Wat Tyler di Inggeris tahun 1831 sampai ke perjuangan Emiliano Zapata di Meksiko dan sejumlah pemberontakan di Cina. Untuk menjadi sebuah kekuataan politis di tingkat nasional, kelas petani perlu dipimipin oleh salah satu golongan urban. Untuk Marx, Lenin dan Trotsky, kaum tani harus dipimpin oleh kelas buruh.B ukannya kaum buruh akan "turun ke desa", melainkan mereka harus berjuang di kota-kota untuk menumbangkan negara borjuis. Perjuangan ini akan merangsangp erjuangan tambahan di pedesaan. Sedangkan di mata Mao, Castro dll, yang harus memimpin tentara gerilya adalah para komandan dan kader yang hampir semuab erasal dari golongan intelektual kota.

Bagaimana hubungannya antara kepemimpinan dan kaum tani dalam sebuah perang gerilya? Tentara gerilya akan terdiri hampir 100 persen atas orang yang berlatarbelakang petani, namun hanya sebuah minoritas kecil dari kelasp etani yang akan ikut berperang. Di Kuba, pasukan Castro jumlahnya paling banyak beberapa ribuan saja, sedangkan tentara Mao berjumlah beberapa juta -- tetapi itu hanya persentase kecil dari 500 juta petani Cina. Hal ini tidak terhindarkan dalam perang gerilya yang menggunakan taktik "tabrak lari", dengan pasukan yang selalu berpindah-pindah tempat.

Taktik ini juga menjamin bahwa seorang gerilyawan berhenti hidup sebagai petani dan menjadi prajurit profesional. Kegiatan dan ideologinya semakin terpisah dari kelas petani, kemudian dibentuk kembali di bawah disiplin otoriter para komandan yang berlatarbelakang intelektual kota. Hubungan inis ejauh bumi dan langit dari hubungan antara buruh dan intelektual dalam partai Leninis, di mana kaum buruh tetap menjadi buruh, dan kaum intelektual yangb erpartisipasi harus mengakui dan mengiyakan logika perjuangan kelas buruh.

Hubungan antara partai dan kelas juga jauh berbeda. Partai Leninis ingin memimpin kelas buruh untuk memperjuangkan kepentingan kaum buruh sendiri, sedangkan para komandan gerilyawan hanya mengatasnamakan kelas petani. Para komandan itu memang membutuhkan dukungan kaum tani, sehingga mereka menjanjikan pertolongan serta perlindungan, dan juga menjanjikan reform agraria. Namun semua pertolongan ini disodorkan dengan mentalitas elitis. Ini cukup jelas dalam tulisan-tulisan Che Guevara:

Kita sudah melukiskan si gerilyawan sebagai seseorang yang membagi keinginan rakyat untuk pembebasan dan yang … memulai peperangan dan menjadi pelopor rakyat bersenjata. Sudah dari awal dia berniat untuk membinasakan sebuah tatanan sosial yang tidak adil, dan oleh karena itu juga punya niat (yang kurang lebih tersembunyi) untuk menggantikan tatanan sosial lama itu dengan sesuatu yang baru … Kita juga sudah menjelaskan bahwa di hampir semua negeri yang perkembangan ekonominya kurang, pedesaanlah yang menyajikan kondisi-kondisi yang terbaiku ntuk perang tersebut. Makanya dasar struktur sosial yang akan diperjuangkan oleh si gerilyawan dimulai dengan perubahan dalam kepimilikan tanah garapan.

Dalam tulisan Che Guevara ini, yang disebut pertama adalah si gerilyawan dengan cita-citanya untuk memperjuangkan tataan sosial yang lebih adil (di tempat lain Guevara memanggil dia sebagai seorang "pendeta reformasi"). Kemudian, arena perjuangan dipilih bedasarkan alasan militer, bukan sosial atau politis. Baru kemudian dia menyinggung soal reform agraria. Dan sekarang Guevara menambahkan:

Kaum tani selalu harus dibantu secara teknis, ekonomis, moral dan budaya. Si gerilyawan akan menjadi semacam malaikat pelindung yang turun dari surga, yang selalu menolong kaum miskin, dan dalam tahap-tahap awal akan mengganggu kaum kaya sesedikit mungkin.

Mentalitas elitis ini sangat menyolok pula dalam perintah-perintah yang diberikan oleh Mao kepada pasukan gerilyawan dalamp ergaulan mereka dengan kelas petani: "Sopan-santunlah! Tolong mereka sedapat mungkin. Semua benda yang dipinjam harus dikembalikan … Semua benda yang dibeli harus dibayar." Perintah-perintah ini membuktikan betapa timpangnya hubungan antara kaum prajurit dan kaum tani. Perintah-perintah tersebut memang sangat diperlukan, karena kondisi-kondisi obyektif senantiasa menggoda para prajurit untuk menghisap dan menindas kaum tani. Sedangkan situasi kelas buruh jauhb erbeda. Sulit sekali dibayangkan sebuah organisasi buruh revolusioner yangh arus memperingatkan kader-kadernya agar "jangan merampok kaum buruh di depan gerbang pabrik".

Pada dasarnya, elitisme dalam strategi gerilyawan tidak hanya berasal dari status intelektual para komandan ataupun dari senjata-senjata yang dimiliki oleh tentara mereka, melainkan sebuah persilisihan dalam hal tujuan sosial. Cita-cita pokok kaum tani adalah memperoleh tanah, sedangkan tujuanu tama kaum intelektual revolusioner adalah untuk merebut kekuasaan negara guna mencapai kemerdekaan nasional. Mereka menggunakan kaum tani sebagai daya dorong untuk merebut kekuasaan buat mereka sendiri, dan bukan buat kaum tani. Init erbukti oleh kebijakan Mao dan Partai Komunis Cina yang sering melawan pengambilalihan tanah oleh petani demi "kesatuan nasional" dalam perjuanganm elawan Jepang.

Apabila sebuah bangsa yang terjajah memperjuangkan kemerdekaannya, perjuangan tersebut adalah progresif dan tentu saja akan didukung oleh kaum sosialis. Namun perjuangan itu pada dasarnya tetap menjadi perjuangan borjuis-nasional. Negara-negara independen di dunia moderen adalah produk kapitalisme, dan proletariat justru mempunyai tugas untuk mengatasip erpecahan dunia ke dalam sejumlah negeri-negeri yang terpisah. Makanya dukungan oleh pihak Marxis dalam perjuangan nasional itu memiliki motivasi dan metode yang amat berbeda dibandingkan dengan dukungan yang dilakukan oleh pihak borjuis dan intelektual borjuis kecil. Untuk yang terakhir, perjuangan ini merupakan upaya untuk mengkonsolidasikan sebuah wilayah nasional tersendiri di mana mereka bisa berkuasa. Upaya ini dianggap sebagai sebuah tujuan yang mutlak, dan semua kelas dalam masyarakat disuruh bersatu demi tujuan tersebut. Sedangkan untuk kaum Marxis, perjuangan nasional itu hanya merupakan alat saja, guna menghilangkan pendindasan nasional agar kaum buruh sedunia bisa bersatu tanpa dihalangi oleh pertentangan nasional. Makanya proletariat harus menjaga sikapnya yang independen, supaya mampu untuk membawa revolusi nasional lebih jauh menjadi revolusi sosialis.

Masih tinggal satu masalah yang perlu dibahas. Jika perjuangan nasional tidak menjelma menjadi revolusi sosialis, dan tetap terisolasi dalam satu negeri saja, negara baru itu harus dikonsolidasikan untuk bertahan dalam pasar kapitalis global. Kelompok elite yang memimpin perang gerilya tadi,s ekarang mendapati dirinya dalam posisi yang mirip dengan situasi kaum Bolsehevik setelah ambruknya kelas buruh dalam perang sipil (dengan perbedaan bahwa para pemimpin gerilyawan tidak berhubungan dengan gerakan buruh internasional). Itu sebabnya mereka sering menempuh jalan "sosialisme dalam satu negeri", dengan membangun rezim-rezim yang serupa dengan rezim Stalin, di Cina, Vietnam, Kuba, dll.

Kemudian kultus tentang si gerilyawan yang kesatriya danb ersedia berkorban demi kepentingan rakyat menjelma menjadi ideologi pengorbanan-diri kelas buruh, kelas petani dan seluruh rakyat demi "pembangunan nasional". Di saat yang sama, struktur-struktur yang agak longgar dalam perjuangan gerilya berubah menjadi sangat ketat dan otoriter dengan bangkitnya sebuah kediktaturan birokratis. Makanya persamaan antara nasionalisme duniak etiga dengan rezim Stalinis memiliki dasar ekonomi dan sosial yang mendalam.

Sebagai penutup: nasionalisme dunia ketiga yang mengaku" Marxis", sebagaimana halnya Kautskyisme dan Stalinisme, merupakan ideologi yang berasal dan mementingkan kepentingan golongan-gologan menengah yang berdiri di antara kelas proletarian dan kelas borjuis. Dalam kasus Kautskyisme dan Stalinisme, berasal dari unsur-unsur birokratis yang berkaitan (tetapi bukan sama) dengan kelas buruh. Dalam nasionalisme dunia ketiga, peranan yang mirip dimainkan oleh golongan intelektual. Berbeda dengan Kautskyisme dan Stalinisme, kaum intelektual itu memiliki dinamika yang progresif, bahkan "revolusioner", selama penindasan nasional belum dihilangkan. Seperti Stalinisme di Rusia dan Eropa Timur (tetapi berbeda dengan Kautskyisme dan Stalinisme di barat) golongan itu kadang-kadang mampu untuk merebut kekuasaan dan menjadi sebuah kelas penguasa baru. Ideologi nasionalisme dunia ketiga itu secara formal lebih jauh dari Marxisme dibandingkan Kautskyisme dan Stalinisme, dan hanya bisa dianggap sebagai versi "Marxisme" karena tradisi Marxis yang sejati begitu dikaburkan oleh Stalinisme.

Walau ada perbedaan yang berarti, Kautskyisme, Stalinisme dan nasionalisme dunia ketiga mempunyai banyak sifat yang sama – terutama komitmen mereka terhadap negara nasional (dengan ideologi nasionalis dan program nasionalisasi perindustrian) serta perlawanan mereka terhadap emansipasi proletariat. Meskipun mereka mengaku sosialis, sebetulnya program mereka adalah untuk membangun kapitalisme negara. Logika semua aliran semacam ini sudahd ijelaskan oleh Friederich Engels dalam tulisannya Anti-Duehring:

Aparatus negara moderen, apapun bentuknya, pada hakikatnya merupakan sebuah mesin kapitalis, sebuah aparatus para pemilik modal, yang mempribadikan modal nasional secara kolektif. Semakin negara ini mengambilalih kekuataan-kekuataan produktif, semakin aparatus negara tersebut menjadi semacam kapitalis nasional dan semakin banyak warga yang dieksploitirnya. Kaum buruh tetap menjadi pekerja upahan – orang-orang proletarian. Hubungan sosial kapitalis tidak dihilangkan, sebaliknya justru dibawa ke puncak.

Artinya, dengan beranjak dari sudut pandang kelas buruh, ketiga aliran yang mengaku "Marxis" ini akhirnya hanya memelopori sebuah tahapan khusus sistem kapitalisme.

Diskusi kita tentang aliran-aliran revisionis telah lengkap. Sudah saatnya kita kembali ke topik utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar