Rabu, 24 Desember 2008

Stalinisme

Stalinisme berangkat dari titik tolak yang sangat berbeda daripada Kautskyisme. Stalinisme muncul dari dalam tubuh Partai Bolshevik di tahun-tahun setelah perang sipil di Rusia, dan meraih posisi dominan melalui sederetan perjuangan intern selama tahun 1920-an, sampai akhirnya dapat menguasai partai itu secara absolut sejak tahun 1928-29. Dus, teori Stalinisme berkembang secara evolusioner dari Leninisme – yaitu dari versi Marxisme yang memandu revolusi buruh ke kemenangan pada bulan Oktober 1917. Sifat-sifat pokok Leninisme adalah sikap revolusioner yang teguh, internasionalisme yang prinsipiil, analisis tentang (dan perlawanan terhadap) imperialisme, strategi revolusioner untuk menghapuskan aparatus negara borjuis dan menggantinya dengan dewan-dewan buruh, dan konsep partai "pelopor" (vanguard) yang harus melakukan intervensi aktif dalam perjuangan politik.

Namun, keadaan materiil yang menimbulkan Stalinisme bertentangan dengan titik tolak Leninis ini. Kelas buruh Rusia, yang pada tahun 1917 telah meraih puncak kesadaran dan perjuangan revolusioner yang palingt inggi dalam sejarah, hampir tiada lagi. Selama perang sipil, mayoritas besar kaum buruh yang paling sadar dan militan meninggal dalam pertempuran, ataupun menjadi pejabat negara. Sebagai dampak dari Perang Dunia, revolusi dan perang sipil, ekonomi Rusia ambruk secara total. Produksi industrial bruto anjlokm enjadi hanya 31% dari tingkat produski tahun 1913, sistem angkutan umum runtuh, banyak penyakit mewabah dan rakyat menderita kelaparan. Jumlah buruh industrial jatuh dari 3 juta di tahun 1917 menjadi 1.25 juta di tahun 1921, dan mereka yang masih bekerja hampir kehabisan tenaga. Seperti ditulis Lenin pada tahun 1921:

Proletariat industrial … di negeri kita, telah kehilangan wataknya sebagai kelas buruh karena perang dan kemiskinan yang mengerikan; artinya, telah disimpangkan dari jalurnya dan berhenti menjadi proletariat sama sekali.

Partai Bolshevik ibaratnya tergantung di dalam sebuah ruang hampa. Untuk menjalankan administrasi dalam negeri, kaum Bolshevik terpaksah arus menerima dan mempekerjakan pejabat-pejabat dalam jumlah yang besar dari bekas pemerintahan Tsar, sehingga pemerintah Bolshevik menjadi semakin birokratis, walaupun ini sama sekali tidak diinginkan. Pada dasarnya sebuahb irokrasi merupakan sebuah hirarki dari pejabat-pejabat yang lepas dari kontrol demokratis rakyat. Para Marxis Rusia (termasuk Lenin) selalu mengandalkan pada kaum buruh revolusioner untuk mencegah timbulnya birokrasi, tetapi kelas buruh di Rusia seperti bubar. Dalam situasi ini, program Marxis tidak mungkin diterapkan secara penuh. Secara sementara kaum Bolsehevik dapat bersiasat dengan menjalankan beberapa kebijakan yang kompromis seperti "Kebijakan Ekonomi Baru" (Novaya Ekonomischiskaya Politika atau NEP), yaitu ekonomi terpadu denganu nsur-unsur kapitalisme swasta; dan sekaligus menunggu pertolongan yang diharapkan dari revolusi internasional. Namun revolusi internasional tidakt erjadi.

Alhasil para Bolshevik tinggal memilih antara dua alternatif yang bertentangan. Mereka bisa memegang terus prinsip-prinsip sosialisme, dengan menerima risiko akan kehilangan kekuasaan sama sekali, atau memegang kekuasaan dengan mengkhianati prinsip-prinsip sosialisme. Situasinya sangat kompleks dan kedua alternatif ini tidak dimengerti oleh para pelaku dengan jelas waktu itu, tetapi pada dasarnya alternatif yang pertama menjadi titik tolak untuk Trotsky, sedangkan alternatif yang kedua menjadi titik tolak untuk Stalin.

Namun, aliran Stalinis tidak memungkiri prinsip-prinsip Lenin dan Marx secara terbuka. Untuk terus beruntung dari prestise Lenin, para Stalinis harus menjalankan dua strategi yang berkaitan. Strategi yang pertama adalah menjelmakan Marxisme-Leninisme dari sebuah gagagasan yang selalu berkembang, dan selalu berorientasi pada praktek konkrit, menjadi sebuah dogma – sebuah "agama" resmi. Bahwa pemikiran Stalin sendiri mengarah kesitu sudahm enjadi jelas dari "sumpah untuk Lenin" yang diungkapkannya setelah wafatnya Lenin; sebuah sumpah yang penuh dengan bahasa berbau agamis. Buku Dasar-dasar Leninisme karya Stalin menyusun pikiran-pikiran Lenin secara mekanis menjadi sebuah "kitab suci" buat "agama" tersebut, yang kemudian disusul dengan cucuran tulisan resmi lainnya yang serupa, sampai dengan runtuhnya Uni Soviet pada awal tahun 1990-an. Dengan cara ini, "Marxisme" Stalinis terpisah dari praktekr evolsioner kelas buruh sendiri. Gagasan ini tidak lagi merupakan upaya untuk mengubah realitas sosial, sebaliknya berfungsi untuk melegitimasi realitast ersebut termasuk tirani Stalin dan para penerusnya.

Akan tetapi, gagasan Leninis tidak bisa dibalsem dan diawetkan begitu saja -- seperti mayat Lenin di dalam makamnya di Moskow. Jurang antara teori dan realitas menjadi sebegitu luasnya sehingga beberapa "amandeman" harus dilakukan dalam teorinya. Hal ini mengharuskan strategi kedua yang telah dijalankan oleh para Stalinis: revisi dari Marxisme dan Leninisme untuk mebuatnya cocok dengan praktek Stalinis. Dengan menyimak proses revisi tersebut kita akan membuka inti hakekat dari "Marxisme" Stalinis dan golongan sosial mana yang beruntung dari teori revisionis tersebut.

Amendeman yang terpenting adalah rumusan tentang "sosialisme dalam satu negeri", yang diumumkan oleh Stalin untuk pertama kalinya pada tahun 1924. Penerapan rumusan ini perlu disimak secara bersegi ganda: bagaimanad iterapkan, mengapa diterapkan, demi kepentingan siapa, dengan akibat yangm ana?

Rumusan "sosialisme dalam satu negeri" merupakan sebuahp emutusan yang radikal dengan sikap internasionalis Marx dan Lenin, bahkanb ertentangan dengan sikap yang diambil oleh Stalin sendiri beberapa bulans ebelumnya. Stalin menulis dalam edisi pertama dari "Dasar-dasar Leninisme" yang terbit pada bulan April 1924:

Tugas utama dalam menerapkan sosialisme – pengorganisasian produksi sosialis – masih belum dijalankan. Apakah tugas ini dapat diselesaikan, apakah kemenangan terakhir sosialisme dapat tercapai tanpa upaya bersama oleh proletariat beberapa negeri maju? Tidak, itu mustahil.

Stalin "memecahkan" kontradisi ini dengan mengubah kalimat tersebut sampai artiannya diputarbalikkan ("Setelah mengkonsolidasikan kekuasaannya serta memimpin kelas petani, proletariat dapat dan harus membangun sebuah masyarakat sosialis.") dan menyuruh edisi pertama ditarik dari peredaran. Tidak ada analisis baru yang diajukan, hanya sebuah rumusan "ortodox" baru yang ditambahkan secara serampangan. Selain kalimat ini, sisa teksnya tidak dirubah, walau tetap memuat beberapa rumusan yang bertentangan dengan argumentasi baru itu. Baru pada tahun-tahun kemudian "analisis-analisis" tambahan direkayasau ntuk membenarkan argumentasi baru tersebut.

Cara berargumentasi yang mekanis ini bukan merupakan perkecualian, sebaliknya menjadi sangat umum. Saat partai-partai sosial-demokrat di barat berubah (menurut Stalin) dari sekutu-sekutu (1925-27) menjadi musuh utama (1928-33) kemudian berubah kembali menjadi sekutu (1934-39), perubahan garis politik ini tidak berdasarkan pada analisis baru terhadap sosial-demokrasi. Perubahan itu diumumkam secara sewenang-wenang, kemudiana nalisis-analisis resmi gerakan komunis harus menyesuaikan diri. "Rahasia"m etode Stalin ini bukan berarti bahwa dia tidak memiliki analisis, melainkan bahwa analisisnya tidak boleh diucapkan secara terbuka. Karena norma-norma dan tujuan-tunjuan yang sebenarnya sudah bukan Marxis lagi.

Kenapa Stalin mengajukan rumusan baru mengenai "sosialisme dalam satu negeri" itu? Pasti sebagai reaksi pesimis terhadap kekalahan Revolusi Jerman tahun 1924 dan stabilisasi kapitalisme internasional yang menyusulk emudian. Stalin adalah pemimpin Bolshevik yang paling picik dan tidak pernah betul-betul berminat pada revolusi global, tetapi ini belum menjelaskan reaksinya secara penuh. Jawabannya ialah bahwa rumusan "sosialisme dalam satu negeri" 100% cocok dengan kepentingan dan cita-cita kaum birokrat yang semakin menguasai negara Soviet. Mereka ingin kembali ke kesebuah kehidupan stabil yang tidak lagi diganggu oleh petualangan revolusioner internasional. Di saat yang sama, mereka memerlukan sebuah semboyan yang mengungkapkan tujuan mereka itu. Seperti dikatakan Trotsky, slogan "sosialisme dalam satu negeri mengucapkans uasana hati birokrasi … Ketika mereka mendengungkan kemenangan sosialisme, yang dimaksudkan adalah kemenangan mereka sendiri."

Seperti telah kita lihat di atas, Stalin mengajukan teori baru ini tanpa banyak cingcong (justru untuk menyembunyikan revisi teoritis yangs edang dilaksanakan). Tetapi sebetulnya ini merupakan perubahan yang radikal dalam orientasi rezim Soviet, dengan akibat yang sangat luas. Uni Soviet terisolasi di hadapan dunia kapitalis yang bermusuhan – sebuah dunia kapitalis yang telah membuktikan keinginannya untuk mencekik revolusi Rusia dengan intervensi militer selama perang sipil, dan (seperti ditegaskan Lenin) masih jauh lebih kuat daripada negara soviet. Strategi yang diterapkan oleh Lenin dan Trotsky, walau tentu saja mencakup upaya militer defensif yang nekad, namun pada dasarnya mengandalkan pada perjuangan revolusioner kelas buruh sedunia untuk menjatuhkan sistem kapitalisme. Kebijakan "sosialisme dalam satu negeri" memutarbalikkan orientasi ini. Harapan pada revolusi internasional digantid engan kepercayaan pada kekuatan aparatus negara nasional Soviet, dengan konsekuensi yang amat luas.

Untuk membela negara Soviet, rezim Stalinis memerlukan angkatan bersenjata dan persenjataan sekuat negara-negara kapitalis. Itu tidak mungkin tercapai tanpa industri-industri kuat yang bisa menghasilkan surplus-surplus modal untuk membiayai kepentingan militer tersebut. Seperti dinyatakan Stalin sendiri saat beberapa pejabat ingin melonggarkan tempo proses industrialisasi:

Jangan, kawan-kawan … Temponya tidak boleh dilonggarkan! Sebaliknya, harus dipercepat sedapat mungkin sesuai dengan kemampuan kita saat ini. Melonggarkan tempo berarti ketinggalan, dan yang tertinggal akan kalah. Kita tidak ingink alah – tidak mau! … Sampai saat ini kita masih tertinggal sejauh 50 atau 100 tahun di belakang negara-negara maju. Kita harus mengejarnya dalam kurun waktu 10 tahun; kalau tidak mampu, kita akan dihancurkan.

Tetapi Rusia adalah negeri miskin, miskin sekali dibandingkan dengan negara-negara barat. Produktivitas kerjanya sangat rendah. Rencanai ndustrialisasi membutuhkan penanaman modal secara besar-besaran yang tidak bisa diperoleh dari pasar modal kapitalis internasional, sehingga hanya tinggal satu sumber lain: kerja kaum buruh dan kaum tani. Sebuah surplus raksasa harusd iperoleh dan ditanam kembali guna merangsang pertumbuhan industri; tetapi dalam situasi di mana kebanyakan warga Rusia hidup melarat, surplus semacam itu tidak mungkin diambil dari rakyat pekerja secara sukarela. Hanya dapat diperolehm elalui eksploitasi secara paksa. Dan eksploitasi itu hanya bisa dijalankank alau ada golongan sosial yang ingin menjalankannya – sebuah kelas penguasa yang lepas dari beban eksploitasi tersebut, dan yang justru akan beruntung darip roses akumulasi modal ini. Itulah sebabnya birokrasi Soviet menjadi sebuahk elas penguasa, dan akibat dari rumusan "sosialisme dalam satu negeri" adalah sebuah masyarakat yang sama sekali bukan sosialis, melainkan kapitalis negara.

Rumusan itu juga berakibat di bidang teori. Kebanyakan warga Rusia bukan buruh, melainkan petani. Walau Marx dan Lenin mengakui kemungkinan sebuah persekutuan antara kedua kelas ini dalam melawan para kapitalis dan tuan tanah, mereka selalu menegaskan bahwa kaum tani bukanlah sebuah kelas sosialis. Menurut Lenin: "Gerakan kelas petani … bukanlah sebuah perjuangan melawand asar-dasar kapitalisme, melainkan sebuah perjuangan untuk membersihkan dasar-dasar tersebut dari sisa-sisa feodal." Akan tetapi jika Rusia inginm enjalankan "sosialisme" secara terpisah dari dunia luar, maka gagasan ini jelas harus dirubah. Maka selama beberapa waktu Stalin (dan sekutunya Nikolai Bukharin) mengajukan ide bahwa kelas petani bisa "beralih secara berangsur-angsur" menjadi kelas sosialis. Dalam kenyataan, kelas petani bakal dihancurkan oleh proses kolektivisasi paksa tahun 1929-33, karena mereka merupakan halangan untuk dibangunnya kapitalisme negara. Tetapi sebelum itu, sebagai akibat dari upaya teoritis Stalin dan Bukharin tersebut, perbedaana ntara kelas buruh dan kelas petani dikaburkan dalam "Marxisme" Stalinis.

Teori Marxis tentang imperialisme juga menjadi korban. Teori ini dikembangkan oleh Rosa Luxemburg, Bukharin dan Lenin sebagai analisism engenai tahap terbaru dalam kapitalisme internasional – dan dengan sendirinya memprioritaskan sistem ekonomi global sebagai faktor penentu. Rumusan "sosialisme dalam satu negeri" jelas tidak cocok dengan argumentasi klasik ini. Dalam perdebatan dengan Oposisi Kiri yang dipimpin oleh Trotsky, yang menegaskan bahwa Marx dan Engels telah menolak "sosialisme nasional", Stalin malah berargumentasi bahwa sosialisme dalam satu negeri memang mustahil di masal ampau, tetapi menjadi mungkin di era imperialis yang tersifatkan oleh "perkembangan yang tidak merata". Dengan cara ini Stalin menghilangkan isi pokok yang sebenarnya dari teori imperialisme, dan mereduksinya menjadi semacam teori anti-kolonial saja, yang bukan khas Marxis lagi dan bisa disesuaikan dengann asionalisme.

Selain itu, logika "sosialisme dalam satu negeri" memporak-porandakan teori Marxis tentang aparatus negara. Pada tahun 1934 Stalin sudah mengklaim bahwa sosialisme telah dibangun di Rusia, dengan argumentasi bahwa dengan transformasi kelas petani menjadi pekerja yang diupah oleh negara, kelas-kelas tidak ada lagi di Uni Soviet. Birokrasi negara tentu saja bukank elas sosial di mata Stalin. Seandainya sosialisme sudah dibangun, aparatusn egara (sebagai aparatus untuk kekuasaan berkelas) seharusnya mulai lenyap.T etapi negara Stalinis sama sekali tidak berniat akan lenyap, dan hal ini tidak bisa disembunyikan dengan propaganda yang mana pun.

Stalin menangani kontradiksi ini dengan mengatakan, bahwa Marx dan Engels meramalkan hilangnya aparatus negara karena mereka melihat sosialisme sebagai fenomena internasional. Selama sosialisme hanya berdiri dalam satun egeri saja, negara justru harus diperkuat! Argumentasi yang tak berujungp angkal ini tentunya hanya efektif jika siapapun yang membantah akan menghadapi skuadron tembak.

Negara "sosialis" ini mewakili kepentingan kelas yang mana? Stalin tidak bisa menyebutnya "negara buruh", karena Uni Soviet sudah digembar-gemborkan sebagai masyarakat tanpa kelas – dan memang harus digambarkan begitu untuk menyanggah klaim bahwa sosialisme telah dibangun. Satu-satunyaj alan keluar adalah dengan mengatakan bahwa negara Soviet telah menjadi "negara seluruh rakyat". Rumusan yang khas borjuis ini telah diserang oleh Marx dalam Kritik Terhadap Program Gotha dan Lenin dalam Negara dan Revolusi. Mengapa disambut dengan hangat oleh birokrasi Soviet? Karena birokrasi itum emang memainkan peranan yang sama dengan borjuasi di barat. Di saat yang sama, juga seperti borjuasi itu, birokrasi tidak ingin berterus-terang tentang statusnya sebagai kelas penguasa, sehingga lebih suka mendefinisikan aparatus negara sebagai "negara seluruh rakyat".

Kita perlu mencatat baik persamaan maupun perbedaan antara Stalinisme dan Kautskyisme. Keduanya memisahkan teori dari praktek, sedangkan praktek dan teori disatukan oleh Marxisme. Keduanya bersahabat dengan aparatus negara, sedangkan Marx dan Lenin ingin menghilangkan aparatus tersebut (menurut Lenin, sebuah negara buruh "sudah bukan lagi negara dalam artian aslinya").K eduanya bergeser dari internasionalisme Marxis ke sikap nasionalis. Namun ada juga sejumlah perbedaan yang menyolok. Kautsky membuat tumpul teori dan praktek Marxisme menjadi strategi parlementer saja. Stalinisme tetap sangat "revolusioner" dalam kata-kata, sekaligus bertindak secara kontra-revolusioner. Stalin mendengungkan pemberontakan revolusioner dan "diktatur proletariat",t etapi dalam praktek kelas proletarian tersebut ditindas secara mutlak. Kautsky bersahabat terhadap aparatus negara, tetapi rezim Stalinis mengidolakan negara. Pada awal Perang Dunia I, Kautsky dkk menyerah kepada nasionalismed engan perasaan malu; sedangkan setelah Stalin menerima nasionalisme denganr umusan "sosialisme dalam satu negeri", dia sampai merangkul sovinisme yange kstrim.

Kemiripan dan perbedaan ini mencerminkan beberapa sifat dari basis sosial masing-masing kedua ideologi tersebut. Keduanya merupakan ideologi dari sebuah birokrasi yang berasal dari gerakan buruh. Namun dalam kasus sosial-demokrasi, birokrasinya berdiri di tengah-tengah antara proletariat dan borjuasi. Sedangkan di Rusia kelas borjuis sudah dihancurkan oleh revolusi, dan birokrasi Stalinis sudah memegang kekuasaan. Ini sebabnya Kautskyisme tampil sebagai semacam "Marxisme ragu-ragu" yang dapat ditolerir oleh borjuasi, sedangkan Stalinisme menjadi sebuah "Marxisme" yang angkuh dan kejam. Meskib egitu, pada dasarnya Stalinisme lebih dekat dengan Kautskyisme daripada teori revolusioner Marx dan Lenin.

Persamaan antara Stalinisme dan sosial-demokrasi menjadi lebih jelas jika disimak di tingkat internasional. Stalinisme berdampak besar di luar Uni Soviet, terutama melalui partai-partai yang bergabung dalam Internasional Komunis (Komintern). Walau sudah dari awalnya Komintern itu didominasi olehk epimpinanan Komunis Rusia, yang sangat berwibawa di mata para komunis seluruh dunia karena telah menjalankan sebuah revolusi, tetapi pada tahun-tahun pertama masih terjadi perdebatan yang bebas dan para pimpinan partai-partai lain biasanya tidak segan-segan untuk menentang kaum Bolshevik. Namun kegagalanp erjuangan revolusioner di Eropa barat antara tahun 1919 dan 1924 mengurangi kepercayaan-diri para komunis barat. Di saat yang sama, partai-partai di barat dipengaruhi baik oleh bantuan materiil maupun tekanan birokratis dari pihakS oviet, sehingga mereka semakin bergantung pada pimpinan Soviet itu. Ketergantungan ini kemudian digunakan oleh Stalin untuk membelokkan Komintern dari jalan revolusioner sosialis.

Pergeseran tersebut juga berkaitan dengan teori "sosialisme di satu negeri". Jika tugas utama, yaitu membangun sosialisme, dapat dilaksanakan dalam satu negeri saja maka revolusi internasional, walau mungkin masih dicita-citakan, tidak lagi diperlukan. Sehingga peranan Partai-partai Komunis cenderung dikurangi menjadi "satpam" untuk Uni Soviet. Tugas utamam ereka adalah untuk menghindari setiap ancaman militer terhadap Rusia. Untuk itu mereka harus mempengaruhi dan memberi tekanan kepada kelas-kelas borjuis din egeri mereka masing-masing, dan perjuangan revolusioner oleh kaum buruh tidak boleh menganggu tugas utama mereka ini. Sebagai hasil pertama dari orientasi tersebut, Partai Komunis Cina disuruh untuk menempatkan diri dibawah gerakan nasional borjuis "progresif" Kuomintang, yang mengakibatkan kehancuran gerakan Komunis di tangan Kuomintang itu; sedangkan Partai Komunis Inggeris juga disuruh untuk menempatkan diri dibawah "sayap kiri" pimipinan serikat-serikat buruhr eformis, yang mana mengkhianati pemogokan umum tahun 1926. Kemudian pendekatan yang sama menyebabkan kekalahan revolusi di Spanyol tahun 1930-an, karena Uni Soviet dan Partai Komunis Spanyol menomorsatukan upaya untuk bersekutu dengan negara-negara barat melawan Hitler, dan menomorduakan perjuangan kaum buruhS panyol yang betul-betul mampu mengalahkan fasisme di negeri itu. AkhirnyaK omintern sendiri dibubarkan di tengah Perang Dunia Kedua untuk mengambil hati para pimpinan Amerika Serikat dan Inggeris.

Namun sebelum Partai-partai Komunis bisa dimanipulasi begini, mereka harus dirubah dulu secara organisatoris dan ideologis. Kebanyakan para anggota partai-partai tersebut adalah para buruh revolusioner yang betul-betul ingin menumbangkan kapitalisme. Mereka hanya menerima teori "sosialisme dalam satu negeri" karena tidak memahami implikasinya. Lagi pula, keadaan obyektif mereka sebagai buruh akan senantiasa mendorong mereka kepada tindakan-tindakan yang tidak cocok dengan peranan "satpam" tadi. Makanya untuk memaksakan perubahan yang besar dalam partai-partai ini, kaum buruh itu harus kehilangan kontrol atas pimpinannya. Demokrasi dalam Partai-partai Komunis diganti dengan sebuah administrasi yang birokratis, dan para pemimpin yang tidak ingin menjadi boneka Moskow dicopot dari jabatan mereka. Kekuatan, gengsi dan duit yang begitu besar dari rezim Soviet terbukti cukup efektif untuk menjalankan perubahans emacam ini di seluruh pelosok dunia. Pada akhir tahun 1920-an semua PartaiK omunis berada di tangan kaum birokrat Stalinis.

Meski demikian, proses perubahan ini masih ada batasannya. Jika Partai-partai Komunis tetap akan menjadi satpam yang efektif -- lebih efektif daripada kaum diplomat soviet -- mereka harus tetap berbasis massa; di barat, basis itu jelas adalah kelas buruh. Supaya pengaruh mereka dalam proletariat tidak menyurut, mereka masih harus menghiraukan aspirasi kaum buruh sendiri, dan kadang-kadang harus memimpin perjuangan kelas buruh itu. Makanya, seperti birokrasi sosial-demokrat telah menjadi perantara antara proletariat dan borjuasi (tetapi borjuasi selalu lebih beruntung), begitu juga birokrasi-birokrasi Komunis menjadi perantara antara proletariat dan kelasp enguasa Stalinis (dan disini, rezim Stalinislah yang lebih beruntung).

Di saat yang sama, "sosialisme dalam satu negeri" menimbulkan sejumlah kontradiksi dalam gerakan komunis internasional. Teori ini pada dasarnya adalah teori nasionalis, yang pada akhirnya membuka pintu untuk aliran nasionalis dalam semua Partai Komunis. Seperti ditulis Trotsky:

Jika sosialisme bisa tercapai dalam satu negeri, orang bisa saja percaya pada teori itu bukan hanya setelah terjadinya sebuah revolusi, melainkan juga sebelumnya. Jika sosialisme bisa dibangun di dalam batasan nasionaln egeri Rusia yang terbelakang itu, jelas bisa dibangun juga di negeri Jerman yang maju … Ini akan menjadi titik keberangkatan untuk keretakan dalam Komintern …

Mula-mula kecenderungan nasionalis itu hanya bersifat laten saja, karena loyalitas para komunis yang begitu besar kepada Rusia. Tetapip eranan mereka sebagai "satpam", yang harus mencari aliansi dengan borjuasis etempat di setiap negeri, akhirnya menularkan penyakit nasionalis dimana-mana. Perkembangan penyakit tersebut juga dirangsang oleh pengalaman Perang Dunia II, yang digembar-gemborkan sebagai perang patriotik yang mengharuskan kaum buruh untuk menghentikan semua perjuangan kelas, serta membuat para komunis timbul sebagai pecinta tanah air yang terkemuka. Seusai Perang Dunia, nasionalisme itu terus meningkat. Di beberapa negeri dimana Partai-partai Komunis bisa merebut kekuasaan melalui upaya mereka sendiri (Cina, Yugoslavia, Albania), rezim-rezim baru ini menjadi sangat nasionalis dan putus dengan Moskow. Di sejumlah negeri Eropa Barat, di mana Partai-partai Komunis memiliki basis massa yang berarti (terutama di Italia), ideologi nasionalisme juga menjadi dominan dan bermuara dalam fenomena "Erokomunisme".

Kalau kita mengesampingkan (untuk sementara) perkembangan gerakan komunis di Dunia Ketiga, dan memusatkan perhatian kepada pola perkembangan di barat saja, apa yang kita saksikan? Reformisme dan aliansid engan kelas borjuis, tindakan birokratis dalam gerakan buruh, dan ideologin asionalis. Apa bedanya dengan sosial-demokrasi? Makin lama makin sedikitb edanya, sampai akhirnya Partai-partai Komunis di barat kebanyakan berubah nama dan platformnya menjadi sosial-demokrat juga.

Stalinisme di Rusia dan di barat bentuknya memang berbeda. Di Rusia, Stalinisme merupakan ideologi dari birokrasi kontra-revolusioner yang menjadi sebuah kelas penguasa baru – kelas kapitalis negara – walau di bawah lambang dan slogan Marxisme. Sedangkan di barat, Stalinisme menjelma secarab erangsur-angsur dari kaki tangan ideologis rezim Soviet menjadi sebuah aliran birokratis dalam gerakan buruh yang semakin independen dari Rusia. Tetapi walau berbeda, kedua macam Stalinisme ini senada dalam masalah-masalah pokok: kedua-duanya bertentangan dengan emansipasi kelas buruh sendiri secara global, dan tidak lagi termasuk tradisi Marxis yang sejati.

Di Dunia Ketiga, "Marxisme" Stalinis berkembang dengan cara yang agak berbeda. Hal itu akan menjadi topik kita yang terakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar