Rabu, 24 Desember 2008

Tradisi Marxis yang sejati

Tradisi Marxis yang sejati sekarang tidak lagi sulit ditentukan. Tradisi ini berasal dari Marx dan Engels sendiri, lewat sayap kiri revolusioner dalam Internasional Kedua (terutama di Rusia dan di Jerman),m emuncak dengan Revolusi Rusia dan tahun-tahun pertama Internasional Komunis, kemudian dilanjutkan dalam kondisi yang luar biasa susah oleh gerakan Trotskyis selama beberapa dasawarsa. Tokoh terkemuka dalam aliran ini adalah Marx, Engels, Lenin. Luxemburg dan Trotsky, namun mereka juga disertai oleh banyak tokoh yang sangat berharga seperti Antonio Gramsci, Franz Mehring, James Connolly, Victor Serge dll, bersama ratusan ribu pejuang kelas buruh.

Tradisi ini senantiasa berupaya untuk menyatukan teori dan praktek, sehingga tidak pernah puas dengan rumusan-rumusan lama, melainkans elalu berusaha untuk menerapkan Marxisme secara konkrit di dunia nyata. Dia ntara sumbangan terkemuka tradisi Marxis termasuk teori Lenin tentang partai pelopor, analisis Rosa Luxemburg mengenai pemogokan massa, dan argumentasiT rotsky tentang revolusi permanen. Sedangkan aliran sosial-demokrat, Stalinis serta Maois bukanlah Marxis dalam artian aslinya.

Tradisi Marxis hampir selalu merupakan aliran minoritas. Hal itu patut disayangkan tetapi tidak dapat dihindari, karena ide-ide dominan dalam masyarakat biasanya adalah ide-ide kaum penguasa. Hanya dalam periode perjuangan massa revolusioner, seperti di Rusia dan Eropa selama tahun 1917-1923, mayoritas buruh dan rakyat tertindas bisa maju ke kesadaran revolusioner. Maka naik-turunnya aliran Marxis mencerminkan pasang surutnya perjuangan kelas buruh dan massa rakyat sendiri.

Tradisi Marxis bukan monolitis, melainkan selalu diwarnai perdebatan yang tajam, misalnya perdebatan antara Lenin dan Luxemburg mengenai masalah nasionalisme, atau Lenin dan Trotsky tentang dinamika Revolusi Rusia, ataupun perdebatan intern dalam Partai Bolshevik menjelang revolusi Oktober1 917. Juga tidak terlepas dari kesalahan; misalnya baru pada bulan April 1917 Lenin meninggalkan rumusan-rumusan yang keliru tentang "revolusi demokrasi" dan beralih ke sebuah analisis yang mirip dengan revolusi permanen Trotsky. Sedangkan Trotsky juga harus meninggalkan oposisinya yang salah terhadap konsep "partai pelopor" yang diajukan oleh Lenin. Akan tetapi aliran ini berdiri atas dasar yang kuat, yaitu kelas buruh, sehingga bisa bersatu dan bisa maju dengan membangun teori-teorinya secara kumulatif.

Dan teori Marxis paling bermanfaat dalam perjuangan kelas buruh itu sendiri. Menurut Lenin, "teori revolusioner yang benar … hanya mengambil bentuk dalam kaitannya yang erat dengan kegiatan praktis sebuah gerakan revolusioner yang berbasis massa." Membangun gerakan revolusioner ini merupakan tugas utama kaum Marxis yang sejati.

Nasionalisme Dunia Ketiga

Marxis yang pertama yang melihat peranan penting yang bisa dimainkan oleh gerakan kemerdekaan di Dunia Ketiga adalah Lenin. Dalam analisanya tetang imperialisme dia membuktikan "perbudakan secara kolonial serta finansial terhadap mayoritas besar penduduk sejagad oleh sebuah minoritas kecil negeri kapitalis terkaya dan termaju" dan meramalkan bahwa keadaan ini akanm enyebabkan sebuah gelombang pemberontakan dan perang anti-kolonial. Apa yang Lenin bayangkan ialah sebuah aliansi global antara revolusi proletarian, terutama di barat, dengan perjuangan kemerdekaan nasional, terutama di timur, untuk menghancurkan sistem imperialis malalui sebuah gerakan menjepit. Makanya dia menekankan pentingnya buat kaum komunis untuk mendukung perjuangan nasional tersebut.

Di saat yang sama, Lenin mengerti bahwa strategi ini mengandung resiko, ialah mengaburkan perbedaan yang dilakukan kaum Marxis "antara kepentingan kelas-kelas tertindas, rakyat pekerja yang dieksploitir, dan konsep umum tentang kepentingan nasional yang memang berarti kepentingan kelas penguasa." Maka tesis-tesis yang diajukan oleh Lenin di Kongres Kedua Komintern menegaskan:

…perlunya sebuah perjuangan nekad dalam melawan setiap upaya untuk memberikan perwarnaan komunis kepada aliran kemerdekaan borjuis-demokratik di negeri-negeri terbelakang … Internasional Komunis harus bersekutu secara sementara dengan pihak borjuis-demokratis di negeri-negeri terjajah, tetapi tidak boleh berfusi dengan mereka; dan harus selalu menjunjung tinggi independensi gerakan proletarian, meskipun gerakan itu masih bersifat embrional.

Lenin juga memperingatkan akan "tipu muslihat yang dipraktekkan secara sistematis oleh negara-negara imperialis" dengan membentuk negara baru yang independen secara politis-formal, tetapi masih bergantung secara ekonomi dan militer pada pihak imperialis. Maka dia menarik kesimpulan:

Di bawah kondisi-kondisi yang ada dewasa ini, negeri-negeri yang lemah tidak bisa menyelematkan diri selain dalam sebuah perserikatan republik-republiks oviet … Sebuah kemenangan yang mutlak dalam perjuangan anti-kapitalis tidak dapat tercapai sebelum proletariat, dengan dukungan massa rakyat pekerja semua bangsa di dunia, bersatu secara sukarela.

Namun di bawah Stalin kebijakan Komintern, yang mulai mencari sekutu-sekutu borjuis untuk negara Soviet, menuju ke arah yang persis dikhawatirkan oleh Lenin. Contoh klasiknya adalah kasus Cina pada tahun 1925-27, dimana Partai Komunis tidak hanya masuk partai nasionalis-borjuis Kuomintang, tetapi juga menerima pelarangan semua kritik terhadap gagasan dari pemimpinp ertama Kuomintang, Sun Yat-sen, dan bahkan menyerahkan sebuah daftar angota Partai Komunis kepada kepemimpinan Kuomintang itu. Pemimpin utama Kuomintang, Chiang Kai-shek, dijadikan anggota kehormatan Internasional Komunis.

Proses memberikan "perwarnaan komunis" kepada gerakan nasional borjuis serta memfusikan komunisme dengan nasionalisme borjuis dipercepat seusai Perang Dunia II, ketika bantuan kepada sejumlah perjuangan kemerdekaan menjadi taktik yang penting dalam perang dingin. Di tahun 1950-an dan 1960-an, hampir semua rezim atau gerakan nasionalis di Dunia Ketiga mengatasnamakan "sosialisme", dan tidak sedikit yang mengaku "Marxis", sedangkan di barats ebagian besar gerakan kiri -- termasuk beberapa kelompok berlatarbelakangT rotskyis -- menarik kesimpulan bahwa perjuangan kemerdekaan nasional danr evolusi sosialis adalah sama saja.

Gerakan-gerakan kemerdekaan nasional itu teori dan prakteknya sangat beraneka-ragam, sehingga kita tidak bisa mengambil salah-satunya sebagai contoh yang representatif. Sebagai pendekatan alternatif, mari kita mengambil satu unsur yang sering muncul dalam beraneka-macam perjuangan nasional, yaitu perang gerilya sebagai strategi untuk memperjuangkan kemerdekaan.

Perang gerilya mengharuskan kaum pejuang untuk berpindah keluar kota ke pedesaan. "Marxis" yang pertama yang mengambil langkah ini adalah Mao, setelah hancurnya kelas buruh dan Partai Komunis di kota-kota besar sebagaia kibat strategi Stalin tadi. Motifnya adalah untuk menyelamatkan sejumlah kader komunis yang masih hidup. Ketika pangkalan Maois yang pertama diserang oleht entara Chiang Kai-shek, para gerilyawan terpaksa melakukan "long march" yang amat jauh dari Cina selatan ke daerah Yenan.

Namun perang gerilya menyebakan sebuah pergeseran bukan hanya dalam lokasi perjuangannya, tetapi juga dalam isi sosialnya. Seorang buruh tidak bisa menjadi gerilyawan tanpa berhenti menjadi buruh, dan kebanyakan kelas buruh tidak bisa berpartisipasi dalam perjuangan gerilya di pedesaan. Makanya kelas buruh mesti diganti oleh kelas lain. Kelas yang mana? Jawaban yang biasanyad iajukan oleh para teoretikus perang gerilya adalah: kelas petani.

Kita sudah melihat betapa fundamentalnya peranan kelas buruh untuk mengadakan revolusi sosialis. Tetapi mungkin ada baiknya kita mengulangi argumentasinya secara ringkas: dalam gagasan Marxis, proletariat bukanlah sebuah alat tok yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan revolusioner tertentu. Sebaliknya, revolusi sosialis adalah alat yang dipakai kelas buruh untuk memperjuangkan pembebasannya. Karena hanya kelas buruh yang berkaitan dengan, dan yang bisa menguasai kekuataan serta hubungan produksi untuk membawa umat manusia ke sebuah masyarat yang tanpa kelas.

Dengan disuntikkanya teori "sosialisme dalam satu negeri" ke dalam tubuh Marxisme terjadi sederetan revisi lain yang agak drastis. Demikian juga teori tentang revolusi petani melalui perang gerilya meniadakan semua dasar teoretis dari materialisme historis. Kaum tani bukanlah hasil kapitalisme,m elainkan produk hubungan produksi pra-kapitalis. Seandainya kelas petani adalah kelas sosialis, maka revolusi sosialis telah mungkin terjadi seribu tahun yang lalu. Kapitalisme dan revolusi industri tidak lagi menjadi tahapan yang diperlukan secara historis, dan peranan kekuatan produksi sebagai faktor-faktor penentu juga tidak penting lagi. Yang diperlukan hanya ketekunan dan ide-ide.

Dan mentalitas ini memang menonjol dalam pikiran kaum Maois, termasuk beberapa tokoh intelektual di barat yang pro-Maois, beranggapan bahwa sosialisme bisa saja dibangun di dalam kerangka perekonomian nasional di Cina atau dimana saja, betapapun terbelakangnya, kalau saja ada pemimpinan yangb enar. Mentalitas yang sama muncul dalam pendekatan Castro-Guevara-Debray, yang beranggapan bahwa kita tidak perlu menunggu sampai kondisi-kondisi obyektifm ematang -- karena kaum revolusioner sendiri (yaitu kaum gerilyawan) bisam enciptakan kondisi baru. Hasil pendekatan ini bukan materialisme Marxis,m elainkan idealisme yang ekstrim.

Mao masih mengucapkan sentimen-sentimen tentang "perananp emimpin kaum proletarian" yang akan membimbing kelas petani. Tetapi sebetulnya, proletariat tidak berperan sama sekali dalam revolusi tahun 1949. Mao bahkan menulis pada tahun itu: "Diharap supaya semua buruh dan karyawan di semua bidang akan bekerja tetap dan semua perusahaan akan berjalan seperti biasa." Maka" kepemimpinan proletarian" hanya bisa berarti kepemimpinan Partai Komunis.M engingat bahwa jumlah buruh yang ikut partai tersebut hanya sedikit, maka" pimpinan proletarian" hanya berarti "ideologi proletarian", yang sebenarnya merupakan program Stalinis. Sekali lagi kita melihat peranan idealisme dis ini.

Idealisme semacam itu merajalela dalam pemikiran Mao. Menurut dia, Uni Soviet menjelma dari diktatur proletariat menjadi diktatur borjuis( bahkan fasis) hanya karena Stalin diganti dengan Khrushchev. Istilah-istilah seperti borjuis, tuan tanah, proletariat dsb dipakai sebagai etiket moral tanpa merujuk kepada kelas sosial yang nyata. Sehubungan dengan mentalitas ini terjadi juga pengkultusan yang menggelikan terhadap Mao sendiri sebagai "Sang Surya Yang Tidak Pernah Tenggelam".

Menarik untuk dicatat bahwa kultus Stalin baru timbul setelah dia berkuasa, karena kelas buruh tidak pernah mentolerir pengkultusan semacam ini, sehingga Stalin harus menghancurkan kelas buruh sebelum mengkultuskan diri. Sedangkan kultus Mao dimulai jauh sebelumnya, dan ini merupakan fenomena yang sangat umum dalam gerakan petani. Kita sudah menyaksikan kultus lain yang mirip dalam kasus Kim Il Sung, Fidel Castro, bahkan Sukarno yang sering diidolakan. Hal ini memang umum dalam bermacam-macam gerakan yang non-proletarian .

Di sini Marxisme diputarbalikkan. Bukan kehidupan sosial yang menentukan kesadaran manusia, melainkan kesadaran kaum pemimpin yang harusm enentukan kehidupan materiil massa rakyat. Tetapi sebetulnya, teori idealis ini juga berasal dari kondisi-kondisi materiil tertentu. Filsafat idealisme selalu timbul dalam golongan-golongan yang hidup dengan cara menghisap hasil jerihp ayah orang lain. Setelah kesuksesan perang gerilya mereka, orang-orang seperti Mao, Castro dan Sukarno memang memimpin kelas-kelas penguasa baru. Dan hubungan elitis antara kaum pemimpin dan massa rakyat sudah bisa dilihat sebelumnya.

Watak kelas petani telah dijelaskan oleh Marx dalam tulisannya Tanggal 18 Brumaire Louis Bonaparte. Menurut Marx, "kaum tani tidak bisa mewakili diri mereka sendiri, mereka harus diwakili oleh pihak lain. Wakil itu harus sekaligus menjadi tuan mereka, sebuah pihak berwenang di atas mereka,s ebuah kekuasaan pemerintahan tak terbatas yang melindungi kaum tani darik elas-kelas lain, serta mengirim mereka hujan dan sinar matahari dari langit."

Di sini Marx membicarakan sifat yang paling mendasar dari kelas petani, sebuah sifat yang ditentukan oleh kondisi obyektif kehidupan mereka: ketidakmampuan mereka untuk membebaskan diri. Kaum tani memang bisa berjuang, terkadang dengan tekad yang luar biasa, tetapi tidak bisa menjadi kelas penguasa dalam masyarakat. Pedesaan bisa mengalahkan perkotaan dalam sejumlah pertempuran, tetapi tidak bisa menaklukkannya, karena desa-desa tidak bisam emerintah kota-kota, dan di kotalah terletak kekuataan produksi yang paling menentukan. Hal ini dibuktikan berkali-kali dalam sejarah, dari pemberontakan Wat Tyler di Inggeris tahun 1831 sampai ke perjuangan Emiliano Zapata di Meksiko dan sejumlah pemberontakan di Cina. Untuk menjadi sebuah kekuataan politis di tingkat nasional, kelas petani perlu dipimipin oleh salah satu golongan urban. Untuk Marx, Lenin dan Trotsky, kaum tani harus dipimpin oleh kelas buruh.B ukannya kaum buruh akan "turun ke desa", melainkan mereka harus berjuang di kota-kota untuk menumbangkan negara borjuis. Perjuangan ini akan merangsangp erjuangan tambahan di pedesaan. Sedangkan di mata Mao, Castro dll, yang harus memimpin tentara gerilya adalah para komandan dan kader yang hampir semuab erasal dari golongan intelektual kota.

Bagaimana hubungannya antara kepemimpinan dan kaum tani dalam sebuah perang gerilya? Tentara gerilya akan terdiri hampir 100 persen atas orang yang berlatarbelakang petani, namun hanya sebuah minoritas kecil dari kelasp etani yang akan ikut berperang. Di Kuba, pasukan Castro jumlahnya paling banyak beberapa ribuan saja, sedangkan tentara Mao berjumlah beberapa juta -- tetapi itu hanya persentase kecil dari 500 juta petani Cina. Hal ini tidak terhindarkan dalam perang gerilya yang menggunakan taktik "tabrak lari", dengan pasukan yang selalu berpindah-pindah tempat.

Taktik ini juga menjamin bahwa seorang gerilyawan berhenti hidup sebagai petani dan menjadi prajurit profesional. Kegiatan dan ideologinya semakin terpisah dari kelas petani, kemudian dibentuk kembali di bawah disiplin otoriter para komandan yang berlatarbelakang intelektual kota. Hubungan inis ejauh bumi dan langit dari hubungan antara buruh dan intelektual dalam partai Leninis, di mana kaum buruh tetap menjadi buruh, dan kaum intelektual yangb erpartisipasi harus mengakui dan mengiyakan logika perjuangan kelas buruh.

Hubungan antara partai dan kelas juga jauh berbeda. Partai Leninis ingin memimpin kelas buruh untuk memperjuangkan kepentingan kaum buruh sendiri, sedangkan para komandan gerilyawan hanya mengatasnamakan kelas petani. Para komandan itu memang membutuhkan dukungan kaum tani, sehingga mereka menjanjikan pertolongan serta perlindungan, dan juga menjanjikan reform agraria. Namun semua pertolongan ini disodorkan dengan mentalitas elitis. Ini cukup jelas dalam tulisan-tulisan Che Guevara:

Kita sudah melukiskan si gerilyawan sebagai seseorang yang membagi keinginan rakyat untuk pembebasan dan yang … memulai peperangan dan menjadi pelopor rakyat bersenjata. Sudah dari awal dia berniat untuk membinasakan sebuah tatanan sosial yang tidak adil, dan oleh karena itu juga punya niat (yang kurang lebih tersembunyi) untuk menggantikan tatanan sosial lama itu dengan sesuatu yang baru … Kita juga sudah menjelaskan bahwa di hampir semua negeri yang perkembangan ekonominya kurang, pedesaanlah yang menyajikan kondisi-kondisi yang terbaiku ntuk perang tersebut. Makanya dasar struktur sosial yang akan diperjuangkan oleh si gerilyawan dimulai dengan perubahan dalam kepimilikan tanah garapan.

Dalam tulisan Che Guevara ini, yang disebut pertama adalah si gerilyawan dengan cita-citanya untuk memperjuangkan tataan sosial yang lebih adil (di tempat lain Guevara memanggil dia sebagai seorang "pendeta reformasi"). Kemudian, arena perjuangan dipilih bedasarkan alasan militer, bukan sosial atau politis. Baru kemudian dia menyinggung soal reform agraria. Dan sekarang Guevara menambahkan:

Kaum tani selalu harus dibantu secara teknis, ekonomis, moral dan budaya. Si gerilyawan akan menjadi semacam malaikat pelindung yang turun dari surga, yang selalu menolong kaum miskin, dan dalam tahap-tahap awal akan mengganggu kaum kaya sesedikit mungkin.

Mentalitas elitis ini sangat menyolok pula dalam perintah-perintah yang diberikan oleh Mao kepada pasukan gerilyawan dalamp ergaulan mereka dengan kelas petani: "Sopan-santunlah! Tolong mereka sedapat mungkin. Semua benda yang dipinjam harus dikembalikan … Semua benda yang dibeli harus dibayar." Perintah-perintah ini membuktikan betapa timpangnya hubungan antara kaum prajurit dan kaum tani. Perintah-perintah tersebut memang sangat diperlukan, karena kondisi-kondisi obyektif senantiasa menggoda para prajurit untuk menghisap dan menindas kaum tani. Sedangkan situasi kelas buruh jauhb erbeda. Sulit sekali dibayangkan sebuah organisasi buruh revolusioner yangh arus memperingatkan kader-kadernya agar "jangan merampok kaum buruh di depan gerbang pabrik".

Pada dasarnya, elitisme dalam strategi gerilyawan tidak hanya berasal dari status intelektual para komandan ataupun dari senjata-senjata yang dimiliki oleh tentara mereka, melainkan sebuah persilisihan dalam hal tujuan sosial. Cita-cita pokok kaum tani adalah memperoleh tanah, sedangkan tujuanu tama kaum intelektual revolusioner adalah untuk merebut kekuasaan negara guna mencapai kemerdekaan nasional. Mereka menggunakan kaum tani sebagai daya dorong untuk merebut kekuasaan buat mereka sendiri, dan bukan buat kaum tani. Init erbukti oleh kebijakan Mao dan Partai Komunis Cina yang sering melawan pengambilalihan tanah oleh petani demi "kesatuan nasional" dalam perjuanganm elawan Jepang.

Apabila sebuah bangsa yang terjajah memperjuangkan kemerdekaannya, perjuangan tersebut adalah progresif dan tentu saja akan didukung oleh kaum sosialis. Namun perjuangan itu pada dasarnya tetap menjadi perjuangan borjuis-nasional. Negara-negara independen di dunia moderen adalah produk kapitalisme, dan proletariat justru mempunyai tugas untuk mengatasip erpecahan dunia ke dalam sejumlah negeri-negeri yang terpisah. Makanya dukungan oleh pihak Marxis dalam perjuangan nasional itu memiliki motivasi dan metode yang amat berbeda dibandingkan dengan dukungan yang dilakukan oleh pihak borjuis dan intelektual borjuis kecil. Untuk yang terakhir, perjuangan ini merupakan upaya untuk mengkonsolidasikan sebuah wilayah nasional tersendiri di mana mereka bisa berkuasa. Upaya ini dianggap sebagai sebuah tujuan yang mutlak, dan semua kelas dalam masyarakat disuruh bersatu demi tujuan tersebut. Sedangkan untuk kaum Marxis, perjuangan nasional itu hanya merupakan alat saja, guna menghilangkan pendindasan nasional agar kaum buruh sedunia bisa bersatu tanpa dihalangi oleh pertentangan nasional. Makanya proletariat harus menjaga sikapnya yang independen, supaya mampu untuk membawa revolusi nasional lebih jauh menjadi revolusi sosialis.

Masih tinggal satu masalah yang perlu dibahas. Jika perjuangan nasional tidak menjelma menjadi revolusi sosialis, dan tetap terisolasi dalam satu negeri saja, negara baru itu harus dikonsolidasikan untuk bertahan dalam pasar kapitalis global. Kelompok elite yang memimpin perang gerilya tadi,s ekarang mendapati dirinya dalam posisi yang mirip dengan situasi kaum Bolsehevik setelah ambruknya kelas buruh dalam perang sipil (dengan perbedaan bahwa para pemimpin gerilyawan tidak berhubungan dengan gerakan buruh internasional). Itu sebabnya mereka sering menempuh jalan "sosialisme dalam satu negeri", dengan membangun rezim-rezim yang serupa dengan rezim Stalin, di Cina, Vietnam, Kuba, dll.

Kemudian kultus tentang si gerilyawan yang kesatriya danb ersedia berkorban demi kepentingan rakyat menjelma menjadi ideologi pengorbanan-diri kelas buruh, kelas petani dan seluruh rakyat demi "pembangunan nasional". Di saat yang sama, struktur-struktur yang agak longgar dalam perjuangan gerilya berubah menjadi sangat ketat dan otoriter dengan bangkitnya sebuah kediktaturan birokratis. Makanya persamaan antara nasionalisme duniak etiga dengan rezim Stalinis memiliki dasar ekonomi dan sosial yang mendalam.

Sebagai penutup: nasionalisme dunia ketiga yang mengaku" Marxis", sebagaimana halnya Kautskyisme dan Stalinisme, merupakan ideologi yang berasal dan mementingkan kepentingan golongan-gologan menengah yang berdiri di antara kelas proletarian dan kelas borjuis. Dalam kasus Kautskyisme dan Stalinisme, berasal dari unsur-unsur birokratis yang berkaitan (tetapi bukan sama) dengan kelas buruh. Dalam nasionalisme dunia ketiga, peranan yang mirip dimainkan oleh golongan intelektual. Berbeda dengan Kautskyisme dan Stalinisme, kaum intelektual itu memiliki dinamika yang progresif, bahkan "revolusioner", selama penindasan nasional belum dihilangkan. Seperti Stalinisme di Rusia dan Eropa Timur (tetapi berbeda dengan Kautskyisme dan Stalinisme di barat) golongan itu kadang-kadang mampu untuk merebut kekuasaan dan menjadi sebuah kelas penguasa baru. Ideologi nasionalisme dunia ketiga itu secara formal lebih jauh dari Marxisme dibandingkan Kautskyisme dan Stalinisme, dan hanya bisa dianggap sebagai versi "Marxisme" karena tradisi Marxis yang sejati begitu dikaburkan oleh Stalinisme.

Walau ada perbedaan yang berarti, Kautskyisme, Stalinisme dan nasionalisme dunia ketiga mempunyai banyak sifat yang sama – terutama komitmen mereka terhadap negara nasional (dengan ideologi nasionalis dan program nasionalisasi perindustrian) serta perlawanan mereka terhadap emansipasi proletariat. Meskipun mereka mengaku sosialis, sebetulnya program mereka adalah untuk membangun kapitalisme negara. Logika semua aliran semacam ini sudahd ijelaskan oleh Friederich Engels dalam tulisannya Anti-Duehring:

Aparatus negara moderen, apapun bentuknya, pada hakikatnya merupakan sebuah mesin kapitalis, sebuah aparatus para pemilik modal, yang mempribadikan modal nasional secara kolektif. Semakin negara ini mengambilalih kekuataan-kekuataan produktif, semakin aparatus negara tersebut menjadi semacam kapitalis nasional dan semakin banyak warga yang dieksploitirnya. Kaum buruh tetap menjadi pekerja upahan – orang-orang proletarian. Hubungan sosial kapitalis tidak dihilangkan, sebaliknya justru dibawa ke puncak.

Artinya, dengan beranjak dari sudut pandang kelas buruh, ketiga aliran yang mengaku "Marxis" ini akhirnya hanya memelopori sebuah tahapan khusus sistem kapitalisme.

Diskusi kita tentang aliran-aliran revisionis telah lengkap. Sudah saatnya kita kembali ke topik utama.

Stalinisme

Stalinisme berangkat dari titik tolak yang sangat berbeda daripada Kautskyisme. Stalinisme muncul dari dalam tubuh Partai Bolshevik di tahun-tahun setelah perang sipil di Rusia, dan meraih posisi dominan melalui sederetan perjuangan intern selama tahun 1920-an, sampai akhirnya dapat menguasai partai itu secara absolut sejak tahun 1928-29. Dus, teori Stalinisme berkembang secara evolusioner dari Leninisme – yaitu dari versi Marxisme yang memandu revolusi buruh ke kemenangan pada bulan Oktober 1917. Sifat-sifat pokok Leninisme adalah sikap revolusioner yang teguh, internasionalisme yang prinsipiil, analisis tentang (dan perlawanan terhadap) imperialisme, strategi revolusioner untuk menghapuskan aparatus negara borjuis dan menggantinya dengan dewan-dewan buruh, dan konsep partai "pelopor" (vanguard) yang harus melakukan intervensi aktif dalam perjuangan politik.

Namun, keadaan materiil yang menimbulkan Stalinisme bertentangan dengan titik tolak Leninis ini. Kelas buruh Rusia, yang pada tahun 1917 telah meraih puncak kesadaran dan perjuangan revolusioner yang palingt inggi dalam sejarah, hampir tiada lagi. Selama perang sipil, mayoritas besar kaum buruh yang paling sadar dan militan meninggal dalam pertempuran, ataupun menjadi pejabat negara. Sebagai dampak dari Perang Dunia, revolusi dan perang sipil, ekonomi Rusia ambruk secara total. Produksi industrial bruto anjlokm enjadi hanya 31% dari tingkat produski tahun 1913, sistem angkutan umum runtuh, banyak penyakit mewabah dan rakyat menderita kelaparan. Jumlah buruh industrial jatuh dari 3 juta di tahun 1917 menjadi 1.25 juta di tahun 1921, dan mereka yang masih bekerja hampir kehabisan tenaga. Seperti ditulis Lenin pada tahun 1921:

Proletariat industrial … di negeri kita, telah kehilangan wataknya sebagai kelas buruh karena perang dan kemiskinan yang mengerikan; artinya, telah disimpangkan dari jalurnya dan berhenti menjadi proletariat sama sekali.

Partai Bolshevik ibaratnya tergantung di dalam sebuah ruang hampa. Untuk menjalankan administrasi dalam negeri, kaum Bolshevik terpaksah arus menerima dan mempekerjakan pejabat-pejabat dalam jumlah yang besar dari bekas pemerintahan Tsar, sehingga pemerintah Bolshevik menjadi semakin birokratis, walaupun ini sama sekali tidak diinginkan. Pada dasarnya sebuahb irokrasi merupakan sebuah hirarki dari pejabat-pejabat yang lepas dari kontrol demokratis rakyat. Para Marxis Rusia (termasuk Lenin) selalu mengandalkan pada kaum buruh revolusioner untuk mencegah timbulnya birokrasi, tetapi kelas buruh di Rusia seperti bubar. Dalam situasi ini, program Marxis tidak mungkin diterapkan secara penuh. Secara sementara kaum Bolsehevik dapat bersiasat dengan menjalankan beberapa kebijakan yang kompromis seperti "Kebijakan Ekonomi Baru" (Novaya Ekonomischiskaya Politika atau NEP), yaitu ekonomi terpadu denganu nsur-unsur kapitalisme swasta; dan sekaligus menunggu pertolongan yang diharapkan dari revolusi internasional. Namun revolusi internasional tidakt erjadi.

Alhasil para Bolshevik tinggal memilih antara dua alternatif yang bertentangan. Mereka bisa memegang terus prinsip-prinsip sosialisme, dengan menerima risiko akan kehilangan kekuasaan sama sekali, atau memegang kekuasaan dengan mengkhianati prinsip-prinsip sosialisme. Situasinya sangat kompleks dan kedua alternatif ini tidak dimengerti oleh para pelaku dengan jelas waktu itu, tetapi pada dasarnya alternatif yang pertama menjadi titik tolak untuk Trotsky, sedangkan alternatif yang kedua menjadi titik tolak untuk Stalin.

Namun, aliran Stalinis tidak memungkiri prinsip-prinsip Lenin dan Marx secara terbuka. Untuk terus beruntung dari prestise Lenin, para Stalinis harus menjalankan dua strategi yang berkaitan. Strategi yang pertama adalah menjelmakan Marxisme-Leninisme dari sebuah gagagasan yang selalu berkembang, dan selalu berorientasi pada praktek konkrit, menjadi sebuah dogma – sebuah "agama" resmi. Bahwa pemikiran Stalin sendiri mengarah kesitu sudahm enjadi jelas dari "sumpah untuk Lenin" yang diungkapkannya setelah wafatnya Lenin; sebuah sumpah yang penuh dengan bahasa berbau agamis. Buku Dasar-dasar Leninisme karya Stalin menyusun pikiran-pikiran Lenin secara mekanis menjadi sebuah "kitab suci" buat "agama" tersebut, yang kemudian disusul dengan cucuran tulisan resmi lainnya yang serupa, sampai dengan runtuhnya Uni Soviet pada awal tahun 1990-an. Dengan cara ini, "Marxisme" Stalinis terpisah dari praktekr evolsioner kelas buruh sendiri. Gagasan ini tidak lagi merupakan upaya untuk mengubah realitas sosial, sebaliknya berfungsi untuk melegitimasi realitast ersebut termasuk tirani Stalin dan para penerusnya.

Akan tetapi, gagasan Leninis tidak bisa dibalsem dan diawetkan begitu saja -- seperti mayat Lenin di dalam makamnya di Moskow. Jurang antara teori dan realitas menjadi sebegitu luasnya sehingga beberapa "amandeman" harus dilakukan dalam teorinya. Hal ini mengharuskan strategi kedua yang telah dijalankan oleh para Stalinis: revisi dari Marxisme dan Leninisme untuk mebuatnya cocok dengan praktek Stalinis. Dengan menyimak proses revisi tersebut kita akan membuka inti hakekat dari "Marxisme" Stalinis dan golongan sosial mana yang beruntung dari teori revisionis tersebut.

Amendeman yang terpenting adalah rumusan tentang "sosialisme dalam satu negeri", yang diumumkan oleh Stalin untuk pertama kalinya pada tahun 1924. Penerapan rumusan ini perlu disimak secara bersegi ganda: bagaimanad iterapkan, mengapa diterapkan, demi kepentingan siapa, dengan akibat yangm ana?

Rumusan "sosialisme dalam satu negeri" merupakan sebuahp emutusan yang radikal dengan sikap internasionalis Marx dan Lenin, bahkanb ertentangan dengan sikap yang diambil oleh Stalin sendiri beberapa bulans ebelumnya. Stalin menulis dalam edisi pertama dari "Dasar-dasar Leninisme" yang terbit pada bulan April 1924:

Tugas utama dalam menerapkan sosialisme – pengorganisasian produksi sosialis – masih belum dijalankan. Apakah tugas ini dapat diselesaikan, apakah kemenangan terakhir sosialisme dapat tercapai tanpa upaya bersama oleh proletariat beberapa negeri maju? Tidak, itu mustahil.

Stalin "memecahkan" kontradisi ini dengan mengubah kalimat tersebut sampai artiannya diputarbalikkan ("Setelah mengkonsolidasikan kekuasaannya serta memimpin kelas petani, proletariat dapat dan harus membangun sebuah masyarakat sosialis.") dan menyuruh edisi pertama ditarik dari peredaran. Tidak ada analisis baru yang diajukan, hanya sebuah rumusan "ortodox" baru yang ditambahkan secara serampangan. Selain kalimat ini, sisa teksnya tidak dirubah, walau tetap memuat beberapa rumusan yang bertentangan dengan argumentasi baru itu. Baru pada tahun-tahun kemudian "analisis-analisis" tambahan direkayasau ntuk membenarkan argumentasi baru tersebut.

Cara berargumentasi yang mekanis ini bukan merupakan perkecualian, sebaliknya menjadi sangat umum. Saat partai-partai sosial-demokrat di barat berubah (menurut Stalin) dari sekutu-sekutu (1925-27) menjadi musuh utama (1928-33) kemudian berubah kembali menjadi sekutu (1934-39), perubahan garis politik ini tidak berdasarkan pada analisis baru terhadap sosial-demokrasi. Perubahan itu diumumkam secara sewenang-wenang, kemudiana nalisis-analisis resmi gerakan komunis harus menyesuaikan diri. "Rahasia"m etode Stalin ini bukan berarti bahwa dia tidak memiliki analisis, melainkan bahwa analisisnya tidak boleh diucapkan secara terbuka. Karena norma-norma dan tujuan-tunjuan yang sebenarnya sudah bukan Marxis lagi.

Kenapa Stalin mengajukan rumusan baru mengenai "sosialisme dalam satu negeri" itu? Pasti sebagai reaksi pesimis terhadap kekalahan Revolusi Jerman tahun 1924 dan stabilisasi kapitalisme internasional yang menyusulk emudian. Stalin adalah pemimpin Bolshevik yang paling picik dan tidak pernah betul-betul berminat pada revolusi global, tetapi ini belum menjelaskan reaksinya secara penuh. Jawabannya ialah bahwa rumusan "sosialisme dalam satu negeri" 100% cocok dengan kepentingan dan cita-cita kaum birokrat yang semakin menguasai negara Soviet. Mereka ingin kembali ke kesebuah kehidupan stabil yang tidak lagi diganggu oleh petualangan revolusioner internasional. Di saat yang sama, mereka memerlukan sebuah semboyan yang mengungkapkan tujuan mereka itu. Seperti dikatakan Trotsky, slogan "sosialisme dalam satu negeri mengucapkans uasana hati birokrasi … Ketika mereka mendengungkan kemenangan sosialisme, yang dimaksudkan adalah kemenangan mereka sendiri."

Seperti telah kita lihat di atas, Stalin mengajukan teori baru ini tanpa banyak cingcong (justru untuk menyembunyikan revisi teoritis yangs edang dilaksanakan). Tetapi sebetulnya ini merupakan perubahan yang radikal dalam orientasi rezim Soviet, dengan akibat yang sangat luas. Uni Soviet terisolasi di hadapan dunia kapitalis yang bermusuhan – sebuah dunia kapitalis yang telah membuktikan keinginannya untuk mencekik revolusi Rusia dengan intervensi militer selama perang sipil, dan (seperti ditegaskan Lenin) masih jauh lebih kuat daripada negara soviet. Strategi yang diterapkan oleh Lenin dan Trotsky, walau tentu saja mencakup upaya militer defensif yang nekad, namun pada dasarnya mengandalkan pada perjuangan revolusioner kelas buruh sedunia untuk menjatuhkan sistem kapitalisme. Kebijakan "sosialisme dalam satu negeri" memutarbalikkan orientasi ini. Harapan pada revolusi internasional digantid engan kepercayaan pada kekuatan aparatus negara nasional Soviet, dengan konsekuensi yang amat luas.

Untuk membela negara Soviet, rezim Stalinis memerlukan angkatan bersenjata dan persenjataan sekuat negara-negara kapitalis. Itu tidak mungkin tercapai tanpa industri-industri kuat yang bisa menghasilkan surplus-surplus modal untuk membiayai kepentingan militer tersebut. Seperti dinyatakan Stalin sendiri saat beberapa pejabat ingin melonggarkan tempo proses industrialisasi:

Jangan, kawan-kawan … Temponya tidak boleh dilonggarkan! Sebaliknya, harus dipercepat sedapat mungkin sesuai dengan kemampuan kita saat ini. Melonggarkan tempo berarti ketinggalan, dan yang tertinggal akan kalah. Kita tidak ingink alah – tidak mau! … Sampai saat ini kita masih tertinggal sejauh 50 atau 100 tahun di belakang negara-negara maju. Kita harus mengejarnya dalam kurun waktu 10 tahun; kalau tidak mampu, kita akan dihancurkan.

Tetapi Rusia adalah negeri miskin, miskin sekali dibandingkan dengan negara-negara barat. Produktivitas kerjanya sangat rendah. Rencanai ndustrialisasi membutuhkan penanaman modal secara besar-besaran yang tidak bisa diperoleh dari pasar modal kapitalis internasional, sehingga hanya tinggal satu sumber lain: kerja kaum buruh dan kaum tani. Sebuah surplus raksasa harusd iperoleh dan ditanam kembali guna merangsang pertumbuhan industri; tetapi dalam situasi di mana kebanyakan warga Rusia hidup melarat, surplus semacam itu tidak mungkin diambil dari rakyat pekerja secara sukarela. Hanya dapat diperolehm elalui eksploitasi secara paksa. Dan eksploitasi itu hanya bisa dijalankank alau ada golongan sosial yang ingin menjalankannya – sebuah kelas penguasa yang lepas dari beban eksploitasi tersebut, dan yang justru akan beruntung darip roses akumulasi modal ini. Itulah sebabnya birokrasi Soviet menjadi sebuahk elas penguasa, dan akibat dari rumusan "sosialisme dalam satu negeri" adalah sebuah masyarakat yang sama sekali bukan sosialis, melainkan kapitalis negara.

Rumusan itu juga berakibat di bidang teori. Kebanyakan warga Rusia bukan buruh, melainkan petani. Walau Marx dan Lenin mengakui kemungkinan sebuah persekutuan antara kedua kelas ini dalam melawan para kapitalis dan tuan tanah, mereka selalu menegaskan bahwa kaum tani bukanlah sebuah kelas sosialis. Menurut Lenin: "Gerakan kelas petani … bukanlah sebuah perjuangan melawand asar-dasar kapitalisme, melainkan sebuah perjuangan untuk membersihkan dasar-dasar tersebut dari sisa-sisa feodal." Akan tetapi jika Rusia inginm enjalankan "sosialisme" secara terpisah dari dunia luar, maka gagasan ini jelas harus dirubah. Maka selama beberapa waktu Stalin (dan sekutunya Nikolai Bukharin) mengajukan ide bahwa kelas petani bisa "beralih secara berangsur-angsur" menjadi kelas sosialis. Dalam kenyataan, kelas petani bakal dihancurkan oleh proses kolektivisasi paksa tahun 1929-33, karena mereka merupakan halangan untuk dibangunnya kapitalisme negara. Tetapi sebelum itu, sebagai akibat dari upaya teoritis Stalin dan Bukharin tersebut, perbedaana ntara kelas buruh dan kelas petani dikaburkan dalam "Marxisme" Stalinis.

Teori Marxis tentang imperialisme juga menjadi korban. Teori ini dikembangkan oleh Rosa Luxemburg, Bukharin dan Lenin sebagai analisism engenai tahap terbaru dalam kapitalisme internasional – dan dengan sendirinya memprioritaskan sistem ekonomi global sebagai faktor penentu. Rumusan "sosialisme dalam satu negeri" jelas tidak cocok dengan argumentasi klasik ini. Dalam perdebatan dengan Oposisi Kiri yang dipimpin oleh Trotsky, yang menegaskan bahwa Marx dan Engels telah menolak "sosialisme nasional", Stalin malah berargumentasi bahwa sosialisme dalam satu negeri memang mustahil di masal ampau, tetapi menjadi mungkin di era imperialis yang tersifatkan oleh "perkembangan yang tidak merata". Dengan cara ini Stalin menghilangkan isi pokok yang sebenarnya dari teori imperialisme, dan mereduksinya menjadi semacam teori anti-kolonial saja, yang bukan khas Marxis lagi dan bisa disesuaikan dengann asionalisme.

Selain itu, logika "sosialisme dalam satu negeri" memporak-porandakan teori Marxis tentang aparatus negara. Pada tahun 1934 Stalin sudah mengklaim bahwa sosialisme telah dibangun di Rusia, dengan argumentasi bahwa dengan transformasi kelas petani menjadi pekerja yang diupah oleh negara, kelas-kelas tidak ada lagi di Uni Soviet. Birokrasi negara tentu saja bukank elas sosial di mata Stalin. Seandainya sosialisme sudah dibangun, aparatusn egara (sebagai aparatus untuk kekuasaan berkelas) seharusnya mulai lenyap.T etapi negara Stalinis sama sekali tidak berniat akan lenyap, dan hal ini tidak bisa disembunyikan dengan propaganda yang mana pun.

Stalin menangani kontradiksi ini dengan mengatakan, bahwa Marx dan Engels meramalkan hilangnya aparatus negara karena mereka melihat sosialisme sebagai fenomena internasional. Selama sosialisme hanya berdiri dalam satun egeri saja, negara justru harus diperkuat! Argumentasi yang tak berujungp angkal ini tentunya hanya efektif jika siapapun yang membantah akan menghadapi skuadron tembak.

Negara "sosialis" ini mewakili kepentingan kelas yang mana? Stalin tidak bisa menyebutnya "negara buruh", karena Uni Soviet sudah digembar-gemborkan sebagai masyarakat tanpa kelas – dan memang harus digambarkan begitu untuk menyanggah klaim bahwa sosialisme telah dibangun. Satu-satunyaj alan keluar adalah dengan mengatakan bahwa negara Soviet telah menjadi "negara seluruh rakyat". Rumusan yang khas borjuis ini telah diserang oleh Marx dalam Kritik Terhadap Program Gotha dan Lenin dalam Negara dan Revolusi. Mengapa disambut dengan hangat oleh birokrasi Soviet? Karena birokrasi itum emang memainkan peranan yang sama dengan borjuasi di barat. Di saat yang sama, juga seperti borjuasi itu, birokrasi tidak ingin berterus-terang tentang statusnya sebagai kelas penguasa, sehingga lebih suka mendefinisikan aparatus negara sebagai "negara seluruh rakyat".

Kita perlu mencatat baik persamaan maupun perbedaan antara Stalinisme dan Kautskyisme. Keduanya memisahkan teori dari praktek, sedangkan praktek dan teori disatukan oleh Marxisme. Keduanya bersahabat dengan aparatus negara, sedangkan Marx dan Lenin ingin menghilangkan aparatus tersebut (menurut Lenin, sebuah negara buruh "sudah bukan lagi negara dalam artian aslinya").K eduanya bergeser dari internasionalisme Marxis ke sikap nasionalis. Namun ada juga sejumlah perbedaan yang menyolok. Kautsky membuat tumpul teori dan praktek Marxisme menjadi strategi parlementer saja. Stalinisme tetap sangat "revolusioner" dalam kata-kata, sekaligus bertindak secara kontra-revolusioner. Stalin mendengungkan pemberontakan revolusioner dan "diktatur proletariat",t etapi dalam praktek kelas proletarian tersebut ditindas secara mutlak. Kautsky bersahabat terhadap aparatus negara, tetapi rezim Stalinis mengidolakan negara. Pada awal Perang Dunia I, Kautsky dkk menyerah kepada nasionalismed engan perasaan malu; sedangkan setelah Stalin menerima nasionalisme denganr umusan "sosialisme dalam satu negeri", dia sampai merangkul sovinisme yange kstrim.

Kemiripan dan perbedaan ini mencerminkan beberapa sifat dari basis sosial masing-masing kedua ideologi tersebut. Keduanya merupakan ideologi dari sebuah birokrasi yang berasal dari gerakan buruh. Namun dalam kasus sosial-demokrasi, birokrasinya berdiri di tengah-tengah antara proletariat dan borjuasi. Sedangkan di Rusia kelas borjuis sudah dihancurkan oleh revolusi, dan birokrasi Stalinis sudah memegang kekuasaan. Ini sebabnya Kautskyisme tampil sebagai semacam "Marxisme ragu-ragu" yang dapat ditolerir oleh borjuasi, sedangkan Stalinisme menjadi sebuah "Marxisme" yang angkuh dan kejam. Meskib egitu, pada dasarnya Stalinisme lebih dekat dengan Kautskyisme daripada teori revolusioner Marx dan Lenin.

Persamaan antara Stalinisme dan sosial-demokrasi menjadi lebih jelas jika disimak di tingkat internasional. Stalinisme berdampak besar di luar Uni Soviet, terutama melalui partai-partai yang bergabung dalam Internasional Komunis (Komintern). Walau sudah dari awalnya Komintern itu didominasi olehk epimpinanan Komunis Rusia, yang sangat berwibawa di mata para komunis seluruh dunia karena telah menjalankan sebuah revolusi, tetapi pada tahun-tahun pertama masih terjadi perdebatan yang bebas dan para pimpinan partai-partai lain biasanya tidak segan-segan untuk menentang kaum Bolshevik. Namun kegagalanp erjuangan revolusioner di Eropa barat antara tahun 1919 dan 1924 mengurangi kepercayaan-diri para komunis barat. Di saat yang sama, partai-partai di barat dipengaruhi baik oleh bantuan materiil maupun tekanan birokratis dari pihakS oviet, sehingga mereka semakin bergantung pada pimpinan Soviet itu. Ketergantungan ini kemudian digunakan oleh Stalin untuk membelokkan Komintern dari jalan revolusioner sosialis.

Pergeseran tersebut juga berkaitan dengan teori "sosialisme di satu negeri". Jika tugas utama, yaitu membangun sosialisme, dapat dilaksanakan dalam satu negeri saja maka revolusi internasional, walau mungkin masih dicita-citakan, tidak lagi diperlukan. Sehingga peranan Partai-partai Komunis cenderung dikurangi menjadi "satpam" untuk Uni Soviet. Tugas utamam ereka adalah untuk menghindari setiap ancaman militer terhadap Rusia. Untuk itu mereka harus mempengaruhi dan memberi tekanan kepada kelas-kelas borjuis din egeri mereka masing-masing, dan perjuangan revolusioner oleh kaum buruh tidak boleh menganggu tugas utama mereka ini. Sebagai hasil pertama dari orientasi tersebut, Partai Komunis Cina disuruh untuk menempatkan diri dibawah gerakan nasional borjuis "progresif" Kuomintang, yang mengakibatkan kehancuran gerakan Komunis di tangan Kuomintang itu; sedangkan Partai Komunis Inggeris juga disuruh untuk menempatkan diri dibawah "sayap kiri" pimipinan serikat-serikat buruhr eformis, yang mana mengkhianati pemogokan umum tahun 1926. Kemudian pendekatan yang sama menyebabkan kekalahan revolusi di Spanyol tahun 1930-an, karena Uni Soviet dan Partai Komunis Spanyol menomorsatukan upaya untuk bersekutu dengan negara-negara barat melawan Hitler, dan menomorduakan perjuangan kaum buruhS panyol yang betul-betul mampu mengalahkan fasisme di negeri itu. AkhirnyaK omintern sendiri dibubarkan di tengah Perang Dunia Kedua untuk mengambil hati para pimpinan Amerika Serikat dan Inggeris.

Namun sebelum Partai-partai Komunis bisa dimanipulasi begini, mereka harus dirubah dulu secara organisatoris dan ideologis. Kebanyakan para anggota partai-partai tersebut adalah para buruh revolusioner yang betul-betul ingin menumbangkan kapitalisme. Mereka hanya menerima teori "sosialisme dalam satu negeri" karena tidak memahami implikasinya. Lagi pula, keadaan obyektif mereka sebagai buruh akan senantiasa mendorong mereka kepada tindakan-tindakan yang tidak cocok dengan peranan "satpam" tadi. Makanya untuk memaksakan perubahan yang besar dalam partai-partai ini, kaum buruh itu harus kehilangan kontrol atas pimpinannya. Demokrasi dalam Partai-partai Komunis diganti dengan sebuah administrasi yang birokratis, dan para pemimpin yang tidak ingin menjadi boneka Moskow dicopot dari jabatan mereka. Kekuatan, gengsi dan duit yang begitu besar dari rezim Soviet terbukti cukup efektif untuk menjalankan perubahans emacam ini di seluruh pelosok dunia. Pada akhir tahun 1920-an semua PartaiK omunis berada di tangan kaum birokrat Stalinis.

Meski demikian, proses perubahan ini masih ada batasannya. Jika Partai-partai Komunis tetap akan menjadi satpam yang efektif -- lebih efektif daripada kaum diplomat soviet -- mereka harus tetap berbasis massa; di barat, basis itu jelas adalah kelas buruh. Supaya pengaruh mereka dalam proletariat tidak menyurut, mereka masih harus menghiraukan aspirasi kaum buruh sendiri, dan kadang-kadang harus memimpin perjuangan kelas buruh itu. Makanya, seperti birokrasi sosial-demokrat telah menjadi perantara antara proletariat dan borjuasi (tetapi borjuasi selalu lebih beruntung), begitu juga birokrasi-birokrasi Komunis menjadi perantara antara proletariat dan kelasp enguasa Stalinis (dan disini, rezim Stalinislah yang lebih beruntung).

Di saat yang sama, "sosialisme dalam satu negeri" menimbulkan sejumlah kontradiksi dalam gerakan komunis internasional. Teori ini pada dasarnya adalah teori nasionalis, yang pada akhirnya membuka pintu untuk aliran nasionalis dalam semua Partai Komunis. Seperti ditulis Trotsky:

Jika sosialisme bisa tercapai dalam satu negeri, orang bisa saja percaya pada teori itu bukan hanya setelah terjadinya sebuah revolusi, melainkan juga sebelumnya. Jika sosialisme bisa dibangun di dalam batasan nasionaln egeri Rusia yang terbelakang itu, jelas bisa dibangun juga di negeri Jerman yang maju … Ini akan menjadi titik keberangkatan untuk keretakan dalam Komintern …

Mula-mula kecenderungan nasionalis itu hanya bersifat laten saja, karena loyalitas para komunis yang begitu besar kepada Rusia. Tetapip eranan mereka sebagai "satpam", yang harus mencari aliansi dengan borjuasis etempat di setiap negeri, akhirnya menularkan penyakit nasionalis dimana-mana. Perkembangan penyakit tersebut juga dirangsang oleh pengalaman Perang Dunia II, yang digembar-gemborkan sebagai perang patriotik yang mengharuskan kaum buruh untuk menghentikan semua perjuangan kelas, serta membuat para komunis timbul sebagai pecinta tanah air yang terkemuka. Seusai Perang Dunia, nasionalisme itu terus meningkat. Di beberapa negeri dimana Partai-partai Komunis bisa merebut kekuasaan melalui upaya mereka sendiri (Cina, Yugoslavia, Albania), rezim-rezim baru ini menjadi sangat nasionalis dan putus dengan Moskow. Di sejumlah negeri Eropa Barat, di mana Partai-partai Komunis memiliki basis massa yang berarti (terutama di Italia), ideologi nasionalisme juga menjadi dominan dan bermuara dalam fenomena "Erokomunisme".

Kalau kita mengesampingkan (untuk sementara) perkembangan gerakan komunis di Dunia Ketiga, dan memusatkan perhatian kepada pola perkembangan di barat saja, apa yang kita saksikan? Reformisme dan aliansid engan kelas borjuis, tindakan birokratis dalam gerakan buruh, dan ideologin asionalis. Apa bedanya dengan sosial-demokrasi? Makin lama makin sedikitb edanya, sampai akhirnya Partai-partai Komunis di barat kebanyakan berubah nama dan platformnya menjadi sosial-demokrat juga.

Stalinisme di Rusia dan di barat bentuknya memang berbeda. Di Rusia, Stalinisme merupakan ideologi dari birokrasi kontra-revolusioner yang menjadi sebuah kelas penguasa baru – kelas kapitalis negara – walau di bawah lambang dan slogan Marxisme. Sedangkan di barat, Stalinisme menjelma secarab erangsur-angsur dari kaki tangan ideologis rezim Soviet menjadi sebuah aliran birokratis dalam gerakan buruh yang semakin independen dari Rusia. Tetapi walau berbeda, kedua macam Stalinisme ini senada dalam masalah-masalah pokok: kedua-duanya bertentangan dengan emansipasi kelas buruh sendiri secara global, dan tidak lagi termasuk tradisi Marxis yang sejati.

Di Dunia Ketiga, "Marxisme" Stalinis berkembang dengan cara yang agak berbeda. Hal itu akan menjadi topik kita yang terakhir.

Karl Kautsky dan aliran Sosial-Demokrat.

Partai terkemuka Internasional Kedua adalah Partai Sosial-Demokrat Jerman (SPD), yang didirikan pada tahun 1875 di KonferensiG otha.

Di konferensi tersebut para pengikut Lassalle bergabung dengan para pendukung Marx. Partai ini berkembang di tengah masa setengah-ilegal di bawah undang-undang anti-sosialis yang diterapkan oleh Bismark, sampai akhir abad XIX aliran sosial-demokrat menjadi sangat kuat. Masa itu merupakan zaman kemajuan bagi kapitalisme Jerman secara umum, sehingga gerakan buruh muda dapat memperjuangkan perbaikan nasib kaum buruh. Perbaikan tersebut tentu saja merupakan hasil perjuangan – sistem kapitalisme belum pernah menyediakanp erbaikan nasib kelas buruh tanpa perlawanan – tetapi gerakan buruh tidak perlu menjalankan perjuangan massa sampai pada tahap hidup dan mati. (Tingkat pemogokan buruh saat itu amat rendah.) Secara umum zaman itu agak damai, dan gerakan buruh beruntung dan membangun sebuah partai sosialis yang terbesar di dunia, dengan struktur yang sangat kuat – sebuah partai dengan ratusan ribu anggota, 80 lebih koran harian, serta banyak organisasi yang menjadi onderbouw.

Mulai dari akhiran dasawarsa 1890-an partai ini terbagi dalam dua faksi, yang satu dengan orientasi "ortodoks-Marxis" dan yang lain berhaluan "revisionis". Kelompok revisionis, yang dipimpin oleh Eduard Bernstein, mengajukan argumentasi yang bertentangan dengan teori Marxis, bahwa kapitalisme sedang mengatasi kontradiksinya secara berangsur-angsur. Oleh karena itu SPD seharusnya hanya menganut reform-reform sosial dan demokratis saja. Kelompok ini kurang-lebih berterus-terang mengenai sikap anti-Marxis mereka, sehingga mereka kurang relevan buat telaah kita. Kita akan memusatkan perhatian kepada sayap "ortodoks" saja.

SPD menjadi sebuah partai Marxis secara resmi di konferensi Erfurt tahun 1891 dengan menyetujui Program Erfurt yang dirancang oleh "Paus Marxisme", Karl Kautsky. Program ini beserta sebuah komentar yang juga ditulis oleh Kautsky, tetap menjadi pernyataan pokok dari sudut pandang gerakan sosialis sampai permulaan Perang Dunia I, dan Kautsky tetap menjadi teoretikus terkemuka gerakan tersebut. Tidak bisa disangkal bahwa Program Erfurt dimaksud, dand ianggap dimana-mana sebagai sebuah pernyataan Marxis yang betul-betul ortodoks. Bagian pertama menyajikan "analisis masyarakat zaman sekarang", dengan memuat ringkasan teori perkembangan kapitalisme yang dikemukakan oleh Marx dalam< I>Manifesto Komunis. Bagian pertama ini berakhir dengan argumentasi bahwa "kepemilikan swasta atas alat-alat produksi tidak bisa diserasikan lagi dengan penggunaannya secara efektif dan perkembangannya secara penuh." Bagian kedua menuntut pemecahan kontradiksi itu dengan "penjelmaan kepemilikan swasta menjadi kepemilikan sosial, serta penjelmaan produksi komoditas menjadi produksi sosialis yang dijalankan demi kepentingan masyarakat". Bagian ketiga membicarakan "cara-cara yang mesti digunakan supaya tujuan-tujuan ini dapatt ercapai", yaitu perjuangan kelas buruh. Mengenai perjuangan itu, ProgramE rfurth menyatakan sikap sbb:

Perjuangan kelas buruh melawan eksploitasi kapitalis dengan sendirinyam erupakan perjuangan politik. Kelas buruh tidak bisa mengembangkan organisasi ekonominya serta berjuang di bidang ekonomi tanpa hak-hak politik. Tidak bisa menjalankan proses pengambilalihan alat-alat produksi ke tangan masyarakat umum tanpa memperjuangkan kekuasaan politiknya terlebih dahulu.

Di sini kita masih menempuh jalan ortodoks. Berkali-kali Marx menegaskan bahwa "perjuangan kelas ialah perjuangan politik" sehingga "merebut kekuasaan harus menjadi tugas luhur kelas buruh". Tetapi apa yang harus menjadi isi perjuangan politik tersebut? Seperti sudah kita lihat, buat Marx perjuangan ini terutama untuk menghapuskan aparatus negara borjuis dan menerapkan ditaktur proletariat, seperti yang dilakukan oleh warga Paris dalam Komune tahun 1871. Tetapi di mata Kautsky dan SPD, perjuangan tersebut hanya dilihat sebagai perjuangan parlementer. Hal ini terlihat sangat jelas dalamk omentar Kautsky:

Seperti setiap kelas lainnya, kelas buruh harus berusaha untuk mempengaruhi pihak yang berwenang dalam negara … Para kapitalis besar bisa mempengaruhi kaum penguasa dan kaum legislator secara langsung, tetapi kaum buruh hanya bisab erpengaruh lewat kegiatan parlementer … Jika proletariat menjalankan kegiatan parlementer sebagai kelas yang sadar-diri, sistem parlementer akan mulai berubah wataknya. Tidak lagi menjadi alat di tangan borjuasi belaka … Partisipasip roletariat di dunia parlementer merupakan alat yang paling efektif untikm engangkat proletariat dari kesengsaraan ekonomi, sosial serta moral. Maka tidak ada alasan untuk mencurigai kegiatan parlementer.

Orientasi parlementer ini adalah akibat dari kesuksesan SPD yang luar biasa dalam pemilihan-pemilihan -- partai ini memperoleh 9.7% dari suara pada tahun 1884, tetapi enam tahun kemudian mencapai 19.7% -- dan mencerminkan pergeseran ke arah kanan dari prinsip SPD terdahulu.

Pada tahun 1881 Kautsky menulis: "Kaum sosial-demokrat tidak memiliki ilusi bahwa tujuan-tujuan kita dapat tercapai lewat jalan parlementer" sehingga "langkah pertama dalam revolusi yang akan datang" ialah untuk "menghancurkan aparatus negara borjuis". Namun dari dasawarsa 1890-an jalanp arlementer menjadi strategi utama Kautsky dan SPD. Jika dalam perdebatan dengan kelompok revisionis, Kautsky tampil sebagai pembela "revolusi", sebenarnya ini berarti "revolusi" secara parlementer. Artinya, partai kelas buruh harus tetap menjadi partai oposisi, dan tidak akan berkoalisi dengan partai-partai kapitalis atau berpartisipasi dalam pemerintahan borjuis sebelum para sosial-demokratm enjadi mayoritas dan bisa membentuk pemerintahan tersendiri. Kemudian paras osial-demokrat akan menggunakan pemerintahan itu untuk menerapkan sosialisme. Strategi Kautsky ini tidak ingin menghancurkan aparatus negara kapitalis,s ebaliknya mengambil alih aparatus tersebut. Ini jelas dalam tulisan polemik yang diarahkannya kepada Pannekoek pada tahun 1912:

Tujuan perjuangan kita [ialah] memperjuangkan kekuasaan negara melaluip erjuangan mayoritas dalam parlamen, kemudian mengangkat parlemen itu ke posisi dominan dalam negara. Hancurnya negara itu sama sekali tidak dianjurkan.

Strategi parlementer ini berdasarkan pandangan kaum sosial-demokrat yang melihat sosialisme sebagai akibat yang akan muncul secara kurang-lebih otomatis dari perkembangan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi kapitalis akan menyebabkan pertumbuhan kelas buruh. Dengan pertumbuhan ini, proletariat akan menjadi semakin sadar dan semakin banyak yang akan menyoblos SPD dalamp emilihan, sampai akhirnya partai itu akan mendapat mayoritas kursi. "Perkembangan ekonomi," tulis Kautsky, akan menuju ke sana secara alamiah."P roses itu akan berlangsung secara lancar dan tak terelakkan, tanpa pertempuran yang gawat, kalau saja para pimpinan partai tidak terjerumus ke dalam avonturisme dan tidak memancing pertempuran secara gegabah. Satu-satunya kegiatan yang perlu adalah organisasi serta pendidikan:

Membangun organisasi, memperjuangkan semua posisi kekuasaan yang dapatd iperjuangkan dan dipegang oleh kekuataan kita sendiri, mempelajari tentangn egara serta mendidik massa. Tujuan lain tidak bisa kita tetapkan secara sadar dan sistematis.

Berdasarkan pada metode yang sudah dikembangkan dalam bagian pertama dari telaah ini, sekarang kita harus mangajukan sebuah pertanyaan pokok: apa dasar sosial dari kepasifan ini? Dari satu sisi, ideologi ini jelas berdasarkan pada "gencatan senjata" antara proletariat dan borjuasi yang menyertai kemakmuran dan kemajuan industri kapitalis Jerman sekitar akhir abad XIX dan permulaan abad XX. Namun di saat yang sama, ideologi ini mencerminkan kepentingan golongan tertentu dalam gerakan sosial-demokrat. Bukan kelas buruh, melainkan lapisan sosial lain yang eksistensinya bergantung pada gencatans enjata tersebut, yakni birokrasi yang timbul di jantung SPD dan serikat-serikat buruh dalam kondisi makmur itu – lapisan para pejabat yang menjadi perantara antara pihak borjuis (majikan dan aparatus negara) dan kelas buruh.

Hal ini bisa dilihat secara sangat kasat mata dalam perdebatan tentang pemogokan massa, sebuah persoalan yang menjadi masalah kritis karena peranan pemogokan massa yang terjadi dalam Revolusi Rusia tahun 1905. Parap impinan serikat-serikat buruh sangat menentang pemogokan massa sehingga diK onferensi Koeln pada bulan Mei 1905 mereka menyetujui sebuah resolusi yangm engutuk fenomena itu. Sedangkan partainya (SPD) di Konferensi Jena pada bulan September memutuskan untuk "menerima" pemogokan massa secara prinsipil, tanpa memutuskan secara terperinci apa yang harus dilakukan. Kemudian ledakan sebuah gerakan massa di Saxonia, yang menuntut perluasan hak pilih, memaksa golongan sosial-demokrat untuk memecah kontradiksi ini dalam praktek. Konferensi rahasia yang menggabungkan pihak partai dan pihak pejabat serikat diselenggarakan pada tanggal 1 Februari 1906, di mana pihak partai menyerah dan berjanji akan menentang pemogokan massa secara mati-matian.

Konferensi Mannhein pada bulan September 1906 menghasilkan kompromi baru, dengan menyetujui secara teoritis, bahwa pemogokan massa bisa menjadi strategi aliran sosialis di masa depan, tetapi hanya dengan kesepakatan para pimpinan partai dan pejabat serikat-serikat buruh. Dalam perdebatan ini Kautsky muncul sebagai pengkritik para pejabat serikat-serikat buruh dari sayap "kiri". Dia menyayangkan cara pandang ekonomis mereka yang sempit, tetapi tidak bersedia untuk putus hubungan dengan mereka. Bahkan di saat yang sama diam enyerang orang-orang yang betul-betul mengiyakan pemogokan massa (seperti Rosa Luxemburg) yang dituduhnya "memalsukan revolusi".

Birokrasi gerakan buruh termasuk golongan borjuis kecil.L apisan birokratis ini bergerak di antara kaum pemilik modal dan kelas buruh, dan bertindak sebagai perantara. Para pejabat tersebut menikmati gaji yang lebih tinggi, kondisi kerja yang lebih bagus dan gaya hidup yang lebih enak. Namun, posisi sosial mereka berbeda dari posisi golongan borjuis kecil tradisionals eperti pemilik toko dan pengusaha kecil, sehingga laku politik mereka berbeda pula. Borjuasi kecil tradisional (pemilik modal kecil) biasanya kurang-lebih didominasi oleh para pemodal besar. Di masa krisis, di mana mereka terjepita ntara kubu borjuis besar dan gerakan buruh, mereka bisa mendukung pihak buruh jika muncul sebuah gerakan buruh revolusioner yang mantap dan bersedia untuk memecahkan krisis itu. Jika tidak ada gerakan buruh semacam itu, mereka bisa bergeser jauh ke kanan dan menjadi bahan untuk sebuah gerakan fasis.

Birokrasi gerakan buruh agak berbeda. Lapisan ini terikat pada kelas buruh maka mereka tidak bisa bergeser jauh ke kanan (inilah sebabnya teori yang mengatakan bahwa birokrasi itu adalah "sosial-fasis" hanya omong kosong belaka). Namun di saat yang sama lapisan birokratis itu posisinya malah lebih dekat dengan kelas yang berkuasa dibandingkan dengan posisi para pengusahak ecil. Mengapa? Karena peranannya sebagai "wakil" kaum buruh membawanya ke dalam pergaulan sehari-hari dengan para majikan dan aparatus negara, sementara lapisan ini perlu memperoleh konsesi-konsesi dari pihak borjuis supaya bisa terusm endapatkan dukungan dari kaum buruh. Birokrasi gerakan buruh merasa terancam baik oleh fasisme (yang akan menghancurkan organisasi-organisi mereka) maupun oleh revolusi sosialis (yang akan menyebabkan peranan perantara mereka tidak diperlukan lagi). Jadi orientasi mereka sangat konservatif. Mereka mengkhawatirkan aksi-aksi massa yang bisa luput dari kontrol mereka, mengundang serangan balik dari pihak majikan, dan mengancam pernanan mereka sebagai perantara. Secara politik mereka memerlukan sebuah ideologi yang menggabungkan antara sosialisme dalam kata-kata, dengan sikap yang pasif dan kompromi-kompromi dalam praktek. Mereka membutuhkan kelas buruh sebagai dasar sosial untuk membayar gaji-gaji mereka, dan sebagai pasukan panggung yang bisa dimobilisasi untuk menuntut konsesi-konsesi dari kaum majikan. Konsesi tersebut diperlukan agar kelas buruh tetap puas dengan pimpinan gerakan buruh dan terus menyokong mereka. Namun di saat yang sama kelas buruh harus tetap di bawah kontrol mereka. Ideologi sosial-demokrat yang dikembangkan oleh Kautsky dkk sangat cocok untuk keperluan-keperluan ini.

"Marxisme" versi Kautsky dalam semua hal yang penting, bahkan di bidang filsafat, memenuhi kepentingan birokrasi gerakan buruh. Sepertid icatat di atas, materialisme mekanis -- sikap filosofis Kautsky dan Internasional Kedua -- pada dasarnya merupakan filsafat khas borjuis. Kelasb uruh dianggap sebagai hasil pasif dari perkembangan materiil, sehingga filsafat ini meniadakan peranan aktif revolusioner kelas buruh dan partai sosialis.

Begitu dasar sosial Internasional Kedua itu dimengerti,t indakan partai-partai sosial-demokrat pada awal Perang Dunia I bisa jugad imengerti. Mereka semua ikut maju perang mendukung negara mereka masing-masing dan melupakan semua resolusi solidaritas internasional, meski perang itu merupakan kemelut imperialis saja. Sebab-musabab sikap para sosial-demokrat ini cukup jelas. Dari satu sisi, birokrasi-birokrasi gerakan buruh di setiap negara mengandalkan pada kemakmuran dan kekuatan imperialis negara itu, karena konsesi-konsesi yang mereka peroleh sangat bergantung pada kemakmuran dank ekuatan tersebut. Dari sisi lain, mereka tidak berani mengambil sikap anti-perang yang akan membahayakan legalitas mereka, karena peranan para birokrat hanya mungkin dalam kondisi legal. Sehingga keputusan untuk mendukung peperangan dalam Perang Dunia I tidak hanya merupakan sebuah pengkhianatant erhadap kelas buruh dan tradisi Marxis, tetapi juga merupakan hasil logis dari praktek dan teori aliran sosial-demokrat sebelumnya.

Sebagai kesimpulan, melihat Kautskyisme sebagai Marxismeb erarti membingungkan bentuk dan isi teori tersebut. Meskipun bentuknya "Marxis", namun isinya mencerminkan kepentingan golongan non-buruh. Dalamk enyataannya, tokoh anti-Marxis Bernstein sangat dekat dengan tokoh "Marxiso rtodoks" Kautsky. Perselisihan mereka tidak mengenai praktek politik melainkan hanya soal bagaimana praktek itu harus dilukiskan dalam teori. Seperti yang Karl Kautsky tulis di saat meninggalnya Bernstein, bahwa pertikaian mereka pada awal abad XX hanya sebuah "adegan pendek saja". Saat Perang Dunia I mereka sudahb aikan, tulisnya, dan kemudian dalam semua hal -- masalah perang, revolusi,p erkembangan negeri Jerman dan perkembangan internasional -- "kami selalu senada dan sependapat".

Revisionisme

Mudah-mudahan sudah jelas, bahwa sebagian besar dari para ideolog dan sistem-sistem teoritis yang mengatasnamakan Marxisme selama 100t ahun terakhir, sebenarnya bukan Marxis sama sekali. Sebelum menyimak ke beberapa contoh konkrit, kita perlu membicarakan terlebih dahulu sejumlah ciri yang menyifati kondisi serta kesadaran kelas buruh di bawah kapitalisme.

Secara potensi, proletariat mampu untuk mengatasi kapitalisme, namun selama sistem kapitalis itu masih hidup, proletariat tetap menjadi sebuah kelas yang tertindas dan tereksploitir. Makanya pada masa-masa "normal" kesadaran kebanyakan buruh didominasi oleh ideologi borjuis. Tetapi di saat yang sama, kaum buruh didorong oleh posisi ekonomi mereka untuk melawan serangan kaum pemilik modal dan memperjuangkan perbaikan nasib mereka, walaupun belum siap untuk menentang sistem kapitalis secara menyeluruh. Bersamaan dengan kontradiksi ini telah timbul sejumlah ideologi campuran yang menggabungkan unsur-unsurp ikiran borjuis dan unsur-unsur gagasan sosialis. Contohnya Partai Buruh diI nggeris dan Australia.

Namun ideologi-ideologi campuran ini memiliki dasar obyektif tersendiri di dalam sebuah kelas yang posisi sosialnya terletak di antara kelas borjuis dan proletariat, yaitu golongan menengah yang sering disebut "borjuis kecil". Kategori ini sebetulnya memuat sejumlah lapisan sosial yang kondisinya agak berbeda, di antaranya: borjuis kecil "lama" (pedagang kecil dsb), "kelas menengah baru" (pegawai yang mempunyai posisi berwibawa dsb); birokrasi gerakan buruh di barat (seperti pejabat serikat buruh dan pejabat Partai Buruh); dan kaum tani yang memiliki sebidang tanah tersendiri. Grup-grup ini "mengepung" proletariat, mereka jauh lebih dekat dengan kelas buruh dibandingkan dengan para kapitalis, dan mereka sangat menpengaruhi kesadaraan kaum buruh. Tetapi setiap grup mempengaruhinya dengan caranya sendiri-sendiri. Sehingga kesadaran kelas buruh, dan Marxisme sendiri, mengalami serangan ideologis yang terus-menerus, dan sejarah Marxisme memang adalah sejarah pertempuran melawan ideologi-ideologi campuran borjuis kecil itu -- contohnya polemik-polemik Marx melawan Proudhon dan Bakunin atau argumentasi Lenin melawan kaum Narodnik (populis).

Dalam diskusi ini kita akan menyimak masalah yang lebiht erbatas, yaitu konflik di dalam tubuh "Marxisme" – atau antara berbagai aliran teoretis dan politis yang mengaku Marxis. Kita akan melihat bahwa konflik ini juga seringkali merupakan perjuangan antara sudut pandang proletariat dengan sudut pandang golongan borjuis kecil atau kelas non-buruh lainnya. Bagaiman ini mungkin? Para teoretisi, aktivis atau gerakan politik mula-mula mendukungr evolusi proletarian, tetapi kemudian dengan berbagai alasan (selalu berkaitan dengan tekanan sistem kapitalis) mereka beranjak dari orientasi ini dengan tidak meninggalkan lambang-lambang dan bahasa Marxisme; tetapi mereka menjelmakani sinya menjadi sesuatu yang lain. Begitu proses transformasi itu terjadi," Marxisme" palsu tersebut dapat berpindah ke para aktivis dan gerakan lain yang tidak berkaitan sama sekali dengan revolusi proletarian. Kita akan menyimak tiga contoh utama: aliran sosial-demokrat Internasional Kedua, Stalinisme dalamg erakan komunis; dan nasionalisme dunia ketiga.

Materialisme

Sekarang kita harus berpaling dari program Marxisme ke dasar teori itu: materialisme historis dan analisa kritis terhadap kapitalisme.

Materialisme historis tersebut dasarnya apa? Masalah ini bisa ditelusuri secara analistis (dengan membahas konsep-konsep dan gagasan-gagasan teori itu) atau secara historis (dengan melacak asal-usulnya dan perkembangannya dalam karya Marx). Dari kedua pendekatan tersebut, cara analistislah yang lebih bermanfa’at, karena perkembangan historis dari sebuah teori bisa saja mencakup segala macam faktor kebetulan serta pemutaran.

Mari kita mulai dari masalah materialisme dan idealisme.I dealisme (sentimen agama atau filsafat yang menganggap jiwa, pikiran atauk esadaran manusia sebagai faktor penentu dalam perkembangan sejarah) sebetulnya mempunyai dasar material. Idealisme muncul dari pembagian kerja antara pekerjaan intelektual dengan pekerjaan tangan dan timbulnya sebuah kelas dominan yangl epas dari pekerjaan tangan – yaitu sebuah kelas yang hidup dari hasil kerja orang lain. Sedangkan materialisme adalah teori yang timbul secara wajar did alam sebuah kelas buruh yang harus memperjuangkan pembebasan. Tetapi jelas kita tidak boleh mengidentifikasikan materialisme historis hanya dengan materialisme saja. Materialisme sudah muncul 2000 tahun sebelum lahirnya Marx, dan di abad ke-18 materialisme malah menjadi pendirian kelas borjuis. Apa yang membedakan materialisme Marxis dari materialisme borjuis? Menurut Marx (dalam TesisT entang Feuerbach):

Kekurangan utama dari semua materialisme yang ada sampais ekarang -- termasuk materialisme Feuerbach -- ialah bahwa halihwal, kenyataan, kepancainderaan, digambarkan hanya dalam bentuk benda atau renungan, tetapit idak sebagai aktivitas pancaindra manusia, praktek, tidak secara subyektif.

Artinya, materialisme borjuis melihat manusia sebagai makhluk pasif, sebagai hasil atau efek dari kondisi materiil – sebagai obyek. Ini memang mencerminkan keadaan sehari-hari manusia dalam masyarakat kapitalis: si buruh yang dikuasai oleh mesin di pabrik, kerja sebagai "faktor produksi" yang tidak dibedakan dari faktor lain seperti tanah atau mesin, dsb. Namun materialisme mekanis ini tidak mampu menjadi 100% konsisten; orang tidak bisa hidup menurut filsafat yang 100% fatalistis. Maka materialisme itu selalu menyembunyikan pasal kekecualian yang memperbolehkan idealisme masuk melalui pintu belakang, sebagai "pengetahuan", "ilmu" atau terkadang "kehendak" para elit:

Ajaran materialis bahwa manusia itu adalah hasil dari keadaan dan didikan, dan bahwa, oleh karenanya, manusia yang berubah adalah hasilk eadaan-keadaan lain, dan didikan yang berubah, melupakan bahwa manusialah yang mengubah keadaan dan bahwa pendidik itu sendiri memerlukan pendidikan. Karena itu, ajaran ini menurut keharusan sampai membagi masyarakat menjadi dua bagian, yang satu diantaranya lebih unggul daripada masyarakat.

Marx mengatasi kontradiksi ini melalui konsep praktek. "Terjadinya secara bersamaan perubahan keadaan dengan perubahan aktivitasm anusia bisa dibayangkan dan dimengerti secara rasional hanya sebagai praktek yang merevolusionerkan." Model untuk konsep ini adalah kerja manusia; kerja yang mengubah lingkungan alam dan juga menciptakan manusia sendiri. Menurut Marx, pengertian Hegel atas aspek ini merupakan keberhasilannya yang utama. NamunH egel hanya mengerti kerja tersebut sebagai "kerja mental yang abstrak". Marx dapat berpikir lebih lanjut, sampai berhasil menjungkirbalikkan gagasan Hegel ini; dia berhasil mengidentifikasi kerja manusia yang konkrit dan praktiss ebagai dasar perkembangan sejarah. Ini dimungkinkan, karena Marx sempat menyaksikan kerjaan dan perjuangan kelas buruh – suatu golongan sosial yang mampu untuk mentransformasikan dan menguasai sistem sosial. Konsep tentangp eranan kerja, produksi dan kelas buruh ini yang menjadi titik tolak teorih istoris Marxisme.

Mulai dari titik tolak itu Marx mengembangkan konsep-konsep seperti "kekuatan produksi", "hubungan produksi" dan "mode produksi" yangb ermuara dalam teori revolusi sosial. Di dalam masyarakat, manusia mamasukih ubungan-hubungan produksi yang mencerminkan tahap-tahap tertentu dalam perkambangan kekuataan produksi. Hubungan-hubugan tersebut merupakan struktur ekonomi masyarakat, dan di atas dasar itu timbul sebuah superstruktur legal dan politik, dan kesadaran sosial tertentu. "Pada tahap-tahap tertentu, kekuataan produksi materiil masyarakat bentrok dengan hubungan produksi yang ada. Hubungan itu berubah dari bentuk perkembangan kekuataan produksi menjadi belenggu-belenggu untuk perkembangannya. Kemudian mulailah era revolusi sosial."

Di sini kita harus menerangkan satu masalah. Materialisme historis sering mengalami distorsi mekanis, di mana dialektika antara kekuatan dengan hubungan produksi ditafsirkan sebagai antagonisme antara alat-alat teknis dan sistem kepemilikan swasta. Kedua unsur itu dimengerti seperti sesuatu yang independen dari manusia – sebuah determinisme teknologis. Maka kedua konsep Marxis tadi direduksi artiannya. Namun buat Marx sendiri kekuataan produksi bukan hanya alat-alat seperti palu atau mesin,m elainkan semua kapasitas produktif kelas buruh: "…kekuatan produktif yang terbesar ialah kelas revolusioner sendiri." Di lain pihak, kepemilikan swasta hanya merupakan "ucapan legal dari hubungan produksi". Maka kontradiksi antara kekuataan dengan hubungan produksi bukan sesuatu yang terpisah dari perjuangan kelas, melainkan perjuangan tersebut muncul dari, dan berlangsung atas dasar kekuataan dan hubungan tersebut.

Dengan menelusuri perkembangan materialisme secara teoretis kita telah membuktikan bahwa materialisme historis tidak lain adalah sejarah yang dilihat dari sudut pandang proletariat. Analisis asul-usul historis menuju ke kesimpulan yang sama. Pernyataan pertama tentang materialisme historis terdapat dalam buku Ideologi Jerman yang terbit pada tahun 1845. Sebelum itu terbit dua buku lain yang penting, yakni Naskah-Naskah Ekonomi danF ilosofis dan Pengantar Kritik Terhadap Filsafat Hukum Hegel yang terbit pada tahun 1844. Naskah-Naskah tidak mulai dengan rumusan tentang "filsafat" atau "alienasi" melainkan dengan perjuangan kelas. Kalimat pertama menyatakan bahwa "Tingkat upah ditentukan oleh perjuangan pahit antara sik apitalis dan si buruh." Analisis ekonomi yang dimuat dalam buku tersebut masih kurang matang; tetapi analisis itu secara terang-terangan dijelaskan dari sudut pandang kaum buruh yang menjadi "barang dagangan" dalam masyarakat kapitalis. Kesengsaraan kaum buruh semakin meningkat dengan naiknya produktivitas kerja, sedangkan masyarakat semakin terbagi dua -- antara kelas pemilik modal dan kelas buruh yang tidak memiliki apa-apa.

Untuk menjelaskan keadaan itu Marx menganalisis kerja kaum buruh. Kaum buruh menghasilkan kekayaan buat kaum pemilik modal sekaligusm emproduksi kesengsaraan diri sendiri karena kerja mereka teralienasi (terasing). Maka Marx melihat peranan kerja yang mendua: kerja produktif sebagai cara untuk menciptakan masyarakat, dan kerja teralienasi sebagai cara kaum buruh menciptakan sistem serta kelas dominan yang menindas dan menghisap mereka sendiri. Dalam kontradiksi ini Marx juga melihat harapan akan masa depan: dengan menghapuskan kerja teralienasi itu, pembebasan manusia dapat tercapai. Jadi dalam Naskah-Naskah tahun 1884 Marx sudah mengantisipasi titik tolak dan juga kesimpulan-kesimpulan pokok materialisme historis.

Namun jika kita mundur satu langkah dan menyimak Pengantar ke Kritik Terhadap Filsafat Hukum Hegel (awal 1844) kita sudah mendapati apa yang akan timbul lagi kelak sebagai hasil materialisme historis, yaitu peranan revolusioner proletariat. "Tatkala proletariat menyatakan pembubaran tatanan masyarakat yang ada, mereka hanya membuka rahasia eksistensi mereka sendiri, karena proletariat ialah pembubaran tatanan tersebut." Seperti sudahd icatat di atas, pengakuan Marx atas peranan itu justru berasal dari pengamalannya diantara kalangan buruh revolusioner di Paris. Maka baik secara teoretis maupun historis, rumusan-rumusan Marx tentang sejarah dan masyarakat bisa dilacak kembali ke asal materiilnya, yaitu perjuangan proletarian.

Analisis Marxis tentang kapitalisme (yang biasanya disebut "ekonomi Marxis" walau sebenarnya merupakan "kritik terhadap ekonomi politik") dimaksudkan untuk menyediakan dasar ilmiah yang kuat untuk gerakan buruh dengan menjelaskan hukum pergerakan mode produksi kapitalis. Sudah jelas, bahwa semua analisis ini dijalankan dari sudut pandang kelas buruh revolusioner, dengant esis pokok sebagai berikut: analisis eksploitasi, bukti bahwa seluruh tatanan sosial berdasarkan eksploitasi itu, serta ramalan bahwa sistem kapitalisme harus ambruk persisnya karena dasar eksploitatifnya tersebut. Meskipun begitu, aspek Marxisme ini begitu sering diajukan sebagai sesuatu yang "obyektif" sehingga beberapa catatan diperlukan tentang asal-usal dan logika kritik Marx terhadap ekonomi politik itu.

Kritik Marx tentu saja merupakan penerapan materialismeh istoris pada mode produksi kapitalis, dan seperti materialisme historis sendiri, kritik tersebut berakar dalam analisis kerja – lebih tepatnya kerja teralienasi. Nota bene, ini bukan teori tentang perasaan subyektif kaum buruh terhadap kerja, atau tentang kesadaran umat manusia pada umumnya¸ melainkan sebuah teori yang persisnya membahas kerja yang teralienasi – dengan kata lain, kerja yang harus dijual pada orang lain. (Kata "alienate" juga berarti menjual sesuatu pada orang lain yang "asing".) Kerja teralienasi ialah kerja yang diupah (wage labour) – dia bukan hanya kondisi dalam otak orang tetapi juga merupakan fakta ekonomi yang konkrit. Namun fakta ini hanya dapat dilihat atau dirasakan dari sudut pandang kelas buruh. Marx adalah seorang "filsuf" dan" ekonom" yang pertama dalam sejarah yang meneliti proses kerja dari sudutp andang kaum buruh. Betapa pentingnya teori alienasi bagi analisis Marxist erhadap kapitalisme dapat dilihat dari dua aksioma Marx. Yang pertama, bahwa: "walau kepemilikan swasta tampaknya dasar dan sebab dari kerja terasing, sebenarnya ialah akibatnya". Yang kedua: kapitalisme mempunyai sifat dasar,b ahwa tenaga kerja menjadi barang dagangan.

Marx menempuh jalan teoretis yang sangat panjang dari Naskah Naskah sampai ke Das Kapital, dari kerja terasing dan teori nilai lebih. Sepanjang jalan ini, kritik generis yang dikembangkan Marx semasa masih muda tentang kapitalisme secara umum, telah ditransformasikan dengan upaya yang telaten sehingga menjadi alat analistis tajam yang sangat efektif untuk menelusuri semua seluk-beluk perekonomian kapitalis. Namun konsep awal tentang kerja teralienasi itu tidak dilupakan apalagi dipungkiri, melainkan tetapm enjadi jantung dari analisis Marx. Dalam Das Kapital Marx berkali-kali mengungkit masalah alienasi.

Akhirnya kita harus menyinggung teori Marxis tentang krisis ekonomi, khususnya komponennya yang utama, kecenderungan laju profit untukt urun. Kecenderungan tersebut bukan tesis tersendiri yang dapat diisolasikan dari gagasan-gagasan Marx lainnya, melainkan merupakan titik pertemuan buats emua teori pokoknya. Kecenderungan laju profit untuk turun berasal dari teori nilai lebih dan teori alienasi. Menurut teori nilai lebih, jam kerja yang tak terbayar dari kaum buruh adalah sumber profit. Menurut teori alienasi, di bawah kapitalisme "kerja hidup" (living labour alias kelas buruh) semakin dikuasai oleh "kerja mati" ("dead labour" alias modal). Kecenderungan tersebut jugam erupakan akibat konkrit dari konflik antara kekuatan dan hubungan produksi. Itu membuktikan bahwa hubungan produksi kapitalis telah menjadi belenggu untukp erkembangan kekuataan produksi – seperti dalam kata-kata Marx: "rintangan pokok untuk modal adalah modal sendiri". Lagi pula (dan dengan ini kita kembali ke titik tolak diskusi ini) gagasan tentang kemerosotan laju profit hanya dapat dirumuskan dari sudut pandang proletariat. Para ahli ekonomi borjuis sudahm engamati kecenderungan tersebut, namun mereka tidak mampu untuk mengembangkan sebuah penjelasan teoretis, karena ini hanya mungkin dengan mengakui bahwas istem kapitalis bukanlah sesuatu yang abadi.

Beberapa golongan "Marxis" menganggap analisis Marx tentang kontradiksi kapitalisme sebagai sesuatu yang terpisah dari komitmennya kepada revolusi proletarian. Seorang penganut dari anggapan tersebut masa kini adalah Lucio Colletti, tetapi argumentasi yang mirip sudah diajukan oleh pemikirI nternasionale Kedua (sosial-demokrat) Rudolph Hilferding. Menurut Hilferding, bila kita mengakui adanya suatu keperluan, belum pasti kita harus menyetujui dan ikut memenuhi keperluan tersebut. Dia menarik kesimpulan bahwa manusia membutuhkan komitmen etis tambahan untuk beralih dari keadaan obyektif (das sein) dari ambruknya perekonomian kapitalis sampai ke "keharusan" (das sollen) untuk menerapkan sosialisme. Namun dalam hal ini Hilferding telah menjungkir-balikkan logika Marxisme. Komitmen Marx terhadap kelas buruhlah yang memungkinkan pembukaan kontradiksi kapitalisme, dan pada gilirannya "keharusan" komitmen itu berasal dari kelas buruh sendiri yang sudah mulai berjuang untuk emansipasi.

Telaah kita sejauh ini dapat diringkas sebagai berikut. Di bidang teori, revolusi proletarian tampaknya sebagai akibat dari teori materialisme, teori nilai lebih dsb, tetapi sebetulnya revolusi itu adalah dasar dari semua teori tersebut. Buktinya adalah, bahwa pada umumnya revolusi-revolusi buruh dimulai secara spontan – Paris tahun 1848 dan 1872, Rusia 1905 dan 1917, Jerman 1918, Spanyol 1936, Hungaria 1956, Perancis 1968. Peranan Marxismeb ukannya untuk menciptakan atau meluncurkan revolusi itu, melainkan untukm emandunya ke kemenangan.

Sekarang kita berada dalam kedudukan yang baik untuk mamahami kesatuan dan perkembangan Marxisme. Keduanya berdasarkan pada perjuangan proletarian melawan kelas kapitalis. Dalam perjuangan tersebut kedua kekuatan raksasa ini bentuknya secara terus-menerus berkembang serta berubah. Hubungan aksi-reaksi antara mereka dan golongan sosial lainnya berkembang pula. Sehingga Marxisme juga harus berubah dan berkembang, namun tanpa beranjak dari sudutp andang revolusi proletarian. Jika beranjak dari sudut pandang itu, bukanM arxisme lagi. Menurut Lenin, Marx telah "meletakkan batu-batu sendi ilmu[ Marxis]; kaum sosialis harus maju dari sini ke seluruh jurusan bila merekat idak ingin ketinggalan zaman." Gagasan-gagasan yang disebut "revisonisme"b erusaha untuk memindahkan batu-batu sendi tersebut; mereka meninggalkan sudut pandang kelas buruh dan berpindah ke sudut pandang kelas-kelas lainnya.

Dari praktek ke teori

Inti dari Marxisme ialah revolusi proletarian yang dieskpresikan di bidang teori. Untuk membuktikan argumentasi ini secara penuh, kita perlu menelusuri hubungan-hubungan yang ada antara keadaan hidup proletariat serta perjuangannya dengan ajaran-ajaran utama teori Marxis. Hal ini tidak bisa dilakukan secara lengkap dalam buku kecil semacam ini. Kita hanya akan menggambarkannya dalam garis besar.

Mari kita mulai dari prinsip-prinsip pokok program politik Marxis. Yang pertama adalah orientasi internasionalis. Pentingnya internasionalisme ini dalam pemikiran Marx tidak bisa disangkal, namun internasionalisme Marxis bukanlah komitmen moral yang bersifat abstrak (sebetulnya liberal borjuis) kepada semacam "persaudaraan internasional semua bangsa", melainkan mendasarkan diri pada keberadaan proletariat sebagai kelas internasional, yang diciptakan oleh pasar kapitalis sedunia, dan terpaksa harus berjuang di tingkat internasional untuk melawan sistem kapitalisme itu.

Pernyataan dalam Manifesto Komunis bahwa "kaum buruh tidak mempunyai tanah air" dan bahwa "perselisihan-persilisihan dan antagonisme-antagonisme nasional antara bangsa-bangsa makin lama makin menghilang, disebabkan oleh perkembangan borjuasi, oleh kemerdekaan berdagang, oleh pasar dunia, oleh keseragaman dalam cara produksi, dan dalam syarat-syarat hidup yang selaras dengan itu" sering dianggap berlebihan atau bahkan keliru sama sekali, mengingat pengaruh ideologi nasionalisme kepada kelas buruh sangatlah kuat. Meskipun demikian, pernyataan tersebut tetap benar karenam engidentifikasikan kecenderungan obyektif. Cara-cara produksi (dan budaya-budaya) negeri yang berbeda-beda seperti misalnya Jepang, Australia dan Indonesia memiliki jauh lebih banyak persamaan dewasa ini dibandingkan seabad yang lalu. Selain itu kelas buruh, walaupun masih dipengaruhi nasionalisme, toh mampu untuk menjalankan organisasi dan persekutuan internasional. Itu tidakm ungkin dijalankan oleh kaum tani.

Sifat dasar dari internasionalisme Marxis adalah prioritasnya kepada kepentingan global kelas buruh. Hal ini bisa dijelaskan secara lebihk onkrit. Misalnya seorang buruh revolusioner yang belum pernah meninggalkank ampung halamannya dan tidak dapat berbahasa asing, tetapi melawan pemerintah nasional di masa perang ialah seorang internasionalis. Sedangkan seorang profesor terhormat yang pernah berkeliling dunia, yang fasih dalam selusinb ahasa, tetapi di masa perang tetap menyokong pemerintah borjuis adalah seorang nasionalis.

Yang kedua ialah masalah kepemilikan alat-alat produksi. Banyak pengamat (pengamat borjuis tetapi juga banyak yang menganggap dirinya "Marxis") percaya bahwa prinsip utama Marxisisme dan sosialisme adalah nasionalisasi alat-alat produsksi tersebut. Kaum sosialis yang beranggapanb egini biasanya menganjurkan argumentasi sebagai berikut. Kapitalisme, yang sama dengan kepemilikan swasta, adalah irasional dan tidak adil, dan menyebabkank risis ekonomi serta kemiskinan, perang dsb. Seandainya perusahaan-perusahaan ada di tangan aparatus negara dan disertai dengan perencanaan ekonomi, makak eadaan akan menjadi lebih rasional dan adil. Perjuangan kelas buruh dimengerti sebagai cara untuk mencapai tujuan (nasionalisasi) itu. Jika timbul cara alternatif, seperti perang gerilya atau proses parlementar, cara-cara inim ungkin saja dianggap cocok juga. Buat pengamat ini, proses nasionalisasi adalah tujuannya. Perjuangan kelas buruh hanya alat tok.

Pendekatan Marxis jauh berbeda. Proletariat sedang berjuang melawan kaum kapitalis yang menghisap dan menindas kaum buruh. Satu-satunya cara untuk memenangkan perjuangan ini dan membebaskan diri adalah dengan mengalahkan kelas kapitalis di kancah politik serta merebut alat-alat produksi mereka. Itu hanya mungkin jika proletariat menciptakan aparatus negara yang baru. Pendekatan ini dijelaskan dalam Manifesto Komunis:

Telah kita lihat diatas, bahwa langkah pertama dalam revolusi kelas buruh, adalah mengangkat proletariat pada kedudukan kelas yang berkuasa, memenangkan perjuangan demokrasi. Proletariat akan menggunakan kekuasaan politiknya untuk merebut, selangkah demi selangkah, semua kapital dari borjuasi, memusatkan semua perkakas produksi kedalam tangan negara, artinya, proletariat yang terorganisasi sebagai kelas yang berkuasa; dan untuk meningkatkan jumlah tenaga-tenaga produktif secepat mungkin.

Untuk kaum Marxis, pembebasan kelas buruh adalah tujuannya; nasionalisasi perkakas produksi adalah cara saja.

Perselisihan ini – "kedua jiwa sosialisme" -- sangatlah penting, dan kita akan kembali ke hal itu berkali-kali.

Tujuan sosialis yang terakhir – masyarakat tanpa perbedaan kelas – tentunya adalah aspirasi umat manusia sejak dahulu kala. Namun Marxisme berbeda karena mendasarkan aspirasi ini, sebagai kemungkinan realistis, pada perkembangan proletariat, "sebuah kelas yang karena posisinya dalam masyarakat, hanya dapat membebaskan diri dengan menghapuskan semua kekuasaan yang berkelas, semua perhambaan dan penghisapan." Sekali lagi kita kutip dari ManifestoK omunis:

Semua kelas terdahulu yang memperoleh kekuasaan, berusaha memperkuat kedudukan yang telah diperolehnya dengan menundukkan seluruh masyarakat kepada syarat-syarat kepemilikan mereka. Kaum proletar tidak dapat menjadi tuan atas tenaga-tenaga produktif dalam masyarakat, kecuali denganm enghapuskan cara kepemilikan mereka sendiri terlebih dahulu atas tenaga-tenaga produktif, dan dengan begitu menghapuskan juga segala cara kepemilikan terlebih dahulu lainnya. Mereka tidak mempunyai sesuatupun yang harus dilindungi dand ipertahankan, tugas mereka ialah menghancurkan segala perlindungan dan jaminan terdahulu atas milik perseorangan.

Secara teoretis, peralihan dari kapitalisme ke komunisme( diktatur proletariat) ialah hanya (!) kelanjutan dari perjuangan kaum buruh sampai ke kemenangan. Namun bentuk khusus diktatur tersebut tidak ditemukan baik oleh Marx maupun oleh pemikir Marxis lainnya, melainkan oleh kaum buruh revolusioner sendiri.

Yang pertama oleh kaum buruh Paris di masa Komune tahun 1871, yang membuktikan bahwa tidaklah memadai kalau kelas buruh hanya mengambil alih aparatus negara yang ada, sebaliknya aparatus tersebut justru harus dibongkar dan diganti dengan aparatus baru yang lebih demokratis. Tindakanm ereka menunjuk juga ke prinsip-prinsip utama demokrasi proletarian: pejabat-pejabat harus dibayar dengan upah yang sama dengan upah buruh sendiri; wakil-wakil politik tidak hanya harus terpilih, tetapi kaum buruh juga harus berhak mencabut (merecall) wakil-wakil tersebut sewaktu-waktu; dant entara profesional harus diganti dengan mobilisasi bersenjata kaum buruhs endiri.

Yang kedua oleh kaum buruh Petrograd (dan seluruh Rusia) yang menciptakan bentuk perwakilan politik yang paling cocok untuk kekusasaan demokratis kelas buruh, yaitu soviet-soviet (atau dewan-dewan buruh). Kelebihan dari bentuk ini ialah bahwa sebuah soviet tidak mendasarkan diri pada setiap buruh sebagai warga individu di daerah geografis tertentu, melainkan pada kaum buruh secara kolektif di tempat kerja; dan bahwa soviet itu muncul dalam kapitalisme sebagai akibat wajar dari perjuangan kelas buruh melawan kapitalisme, mulai dari komite-komite yang dibentuk untuk mengadakan aksi mogok. Semua tulisan klasik Marxis tentang hal ini (Marx, Lenin, Gramsci) hanya menggeneralisasi pengalaman perjuangan kelas buruh sendiri.

Marxisme sebagai ilmu pengetahuan

Definisi Marxisme sebagai sebuah teori kelas sosial tertentu sering dianggap bertentangan dengan klaimnya atas status ilmiah. Di satu pihak ada yang mengakui hubungan Marxisme dengan satu golongan sosial, dan menarik kesimpulan bahwa Marxisme bukan ilmu karena tidak obyektif. Pendekar terkemuka dari sudut pandang ini adalah sosiolog terkenal Karl Mannheim. Di pihak lain ada yang mengakui status ilmiah Marxisme, kemudian menarik kesimpulan bahwa gagasan Marxis tidak bisa hanya berasal dari sudut pandang proletariat, karena kaitannya dengan kelas buruh itu – begitu filsuf Perancis Louis Althusser -- "merendahkan Marxisme ke tingkat ideologi saja".

Pembantahan ini mencerminkan kebingungan teoritis dalam dua hal: pertama tentang sifat-sifat ilmu-ilmu alam, kedua tentang perbedaan antara ilmu alam dan ilmu sosial.

Ilmu alam dianggap memberi pengetahuan yang persis dan" obyektif" tanpa pengaruh sosial, makanya ilmu alam ini dianjurkan sebagai model untuk ilmu sosial yang ingin menjadi "obyektif". Namun anggapan terhadap ilmu alam itu justru adalah produk sosial, dan berasal dari persekutuan antara para ilmuan dan kaum borjuis dalam perjuangan mereka untuk menghapuskan masyarakat feodal dan membangun perekonomian industrial. Seperti kaum borjuis gambarkan hukum-hukum masyarakat kapitalis sebagai sebuah hal yang bersifat alamiah dan abadi, mereka juga menggambarkan hasil-hasil ilmu alam sebagai suatu kebenaran yang mutlak. Namun jika kita menyimak sejarah ilmu alam, kita akan melihat bahwa hasil-hasil itu merupakan sejumlah kebenaran yang bersifat sementara dan relatif. Kegiatan untuk memproduksi hasil-hasil ini dirangsang oleh kepentingan manusia, dan hasil-hasil tersebut hanya terbukti benar jika bisa memuaskank epentingan manusia tersebut. Makanya ilmu alam bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan sesuatu yang terus berubah dan berkembang.

Semua ilmu sosial termasuk Marxisme jelas memiliki batasan yang sama, tetapi ada juga perbedaan yang penting antara ilmu alam dan ilmu sosial. Ilmu alam bisa mencapai tingkat obyektivitas yang tidak bisa diraih oleh ilmu sosial.

Yang pertama, pengetahuan selalu merupakan hubungan antara yang tahu dan apa yang diketahui, antara subyek dan obyek. Dalam ilmu alam, obyek itu terletak di luar manusia. Sedangkan untuk ilmu sosial, obyeknya adalah masyarakat yang terdiri atas manusia. Alam dan hukum alam bukanlahc iptaan manusia seperti masyarakat dan hukum sosial. Dunia alam bisa dirubah oleh manusia -- tetapi cuma berdasarkan hukum-hukum alam yang tidak bisa dirubah. Sedangkan hukum-hukum sosial bisa diganti.

Jadi semua manusia mempunyai hubungan yang kurang-lebih sama dengan hukum-hukum alam, tetapi hubungan mereka dengan hukum-hukum masyarakat sangatlah berbeda. Sebagai akibat dari dalil gayaberat, seorang buruh dans eorang konglomerat yang jatuh dari puncak Monas akan menabrak bumi dengank ecepatan dan konsekwensi yang sama. Namun hukum-hukum ekonomi tidak mengakibatkan hasil yang sama untuk keduanya, melainkan menghasilkan kesengsaraan buat yang pertama, dan kemakmuran untuk yang kedua.

Rumusan ilmu alam "proletarian" dan ilmu alam "borjuis" bikinan Stalin adalah omong kosong. Namun seperti dijelaskan oleh Lenin, "harapan bahwa ilmu sosial bisa berlagak netral dalam sebuah masyarakat yang berdasarkane ksploitasi, adalah sebodoh dan senaif mengharapkan sikap netral dari kaumm ajikan dalam menentukan apakah gaji kaum buruh akan dinaikkan dengan mengurangi laba perusahaan".

Yang kedua, tujuan ilmu pengetahuan adalah membantu dalam upayanya untuk mengubah realitas – kenyataan alam atau kenyataan sosial. Kelas borjuis ingin mengubah lingkungan alam, dan memang terpaksa harus mengubahl ingkungan alam itu, untuk menghimpun modal (akumulasi). Makanya kelas borjuis tersebut membutuhkan ilmu alam. Namun kaum borjuis tidak ingin mengubah sistem sosial, sebaliknya ingin mengabadikan susunan masyarakat yang ada. Makanya di bidang sosial mereka lebih memerlukan ideologi defensif daripada pendekatank eilmuan. Itulah sebabnya sebagian besar kegiatan yang dipandang sebagai ilmu sosial oleh kaum borjuis sebenarnya bukan ilmu sama sekali, melainkan upayap embenaran struktur-struktur sosial yang ada dengan cara membodohi masyarakat.

Kadang-kadang, kelas kapitalis memang perlu mengubah kenyataan sosial dalam batasan-batasan tertentu – batasan sistem kapitalis – jadi ilmu sosial borjuis memang menghasilkan beberapa pengetahuan, dan pengetahuan ini bisa juga dipakai kaum sosialis untuk melawan kapitalisme. Tetapi pengetahuan tersebut selalu terletak dalam (dan dikungkungi serta di-distorsikan oleh)k erangka teoretis yang menghalangi pengertian dari kesuluruhan sistem sosial secara lengkap. Satu-satunya golongan yang berkepentingan serta berkemampuan untuk mencapai pengertian akan sistem sosial secara lengkap itu adalah kelas buruh. Seperti dikatakan Marx: "Timbulnya ide-ide revolusioner mensyaratkana danya sebuah kelas revolusioner." Maka, dasar status ilmiah dari Marxismea dalah hubungannya dengan kelas buruh tersebut.

Terkadang argumentasi tersebut dibantah dengan mengeluh bahwa ini terlalu membatasi relevansi Marxisme untuk kesuluruhan ilmu pengetahuan. Misalnya Georg Lucacs, pada tahun 1924 menyatakan bahwa "Materialisme historis [yaitu Marxisme – red.] adalah teori revolusi proletarian"; kemudian pendapatnya berubah: pada tahun 1967 dia mengecam "prasangka" yang "ingin mereduksi materialisme historis yang seharusnya universal kepada satu dimensi saja…" Tetapi pembantahan Lukacs ini salah arah. Definisi Marxisme sebagai ilmu proletarian tidak membatasi teori ini kepada analisis perjuangan kelas buruh ataupun kepada sistem kapitalis saja (walaupun ini jelas merupakan tugas utama kaum sosialis). Kita bisa saja menganalisis kesuluruhan sejarah umat manusia sampai zaman moderen dari sudut pandang kelas buruh. Contohnya tulisan Engels tentang proses munculnya manusia dari makhluk lebih primitif. Argumentasi utama tulisan ini adalah bahwa "pekerjaan merupakan syarat dasar dari kehidupan manusia … makanya kegiatan kerja ini yang mengadakanm anusia sendiri." Kesimpulan itu baru dapat ditarik berdasarkan pengertianM arxis tentang kegiatan kerja kelas buruh moderen yang dicapai Marx dan Engels tahun 1840-an.

Engels tak urung menegaskan tentang implikasi politik dari pengkajian antropologis yang dia lakukan, yaitu: "perlunya revolusi dalam mode produksi". Marxisme memiliki relevansi universal, justru karena ini berdasarkan pada kepentingan kelas buruh, yang disebut "kelas universal" oleh Marx –u niversal dalam arti kata kelas ini bisa membebaskan seluruh umat manusia. Dan universal pula karena tidak memerlukan golongan di atasnya untuk berkuasaa taupun golongan di bawahnya untuk dihisap, sehingga bisa meluas menjadi satu dengan umat manusia secara menyeluruh.

Sudut pandang dan perjuangan kelas buruh sebagai dasar Marxisme

Menurut Marx, "Bukan kesadaran sosial yang menentukan kenyataan sosial, melainkan kenyataan sosial yang menentukan kesadaran." Makanya untuk mengerti dan mendefinisikan sebuah filfasat, teori ataupun ideologi, terutama kita perlu menganalisis "kenyataan sosial" yang merupakan dasar filsafat itu.

Dalam Manifesto Komunis, Marx mendefinisikan berbagai mazhab yang mengaku "sosialis" dengan menunjuk ke golongan sosial yang mereka wakili, yaitu "sosialisme feodal", "sosialisme borjuis kecil", dsb. Kemudian Trotsky membuktikan bahwa kunci pokok dari ideologi dan gerakan fasis adalah posisi kelas borjuis kecil yang terjepit diantara kubu modal dan kubu proletarian. Kita bisa saja mengajukan banyak contoh tambahan, namun yang jelas, metode analisis yang sama harus diterapkan kepada Marxisme sendiri. Dan inim erupakan pendekatan Marx and Engels.

Tulisan Engels Anti-Duehring mulai dengan pernyataan bahwa: "Sosialisme moderen isinya yang utama adalah pengertian, dari satu sisi, mengenai pertentangan kelas antara pemilik dengan non-pemilik modal, antara kaum kapitalis dan kaum buruh; dan dari sisi lainnya adalah pengertian tentangk eadaan anarkis yang marajalela di bidang produksi." Kita dapat melengkapir umusan Engels ini dengan menambahkan bahwa Marxisme menyimak kontradiksi-kontradiksi tersebut dari sudut pandang proletariat atau kelasb uruh. Menurut Marx: "Seperti kaum ekonom [non-sosialis] adalah wakil ilmiah dari kelas borjuis, begitu juga kaum sosialis serta komunis adalah para teoritisi dari kelas proletar." Dan kita membaca dalam Manifesto Komunis:

Kesimpulan-kesimpulan yang ditarik kaum komunis sama sekali tidak berdasarkan pada ide-ide atau prinsip-prinsip yang ditemukan atau diciptakan begitu saja oleh pemikir ini atau itu, melainkain kesimpulan-kesimpulan tersebut menjelaskan dan mencerminkan hubungan sosial nyata yang timbul dari perkembangan-perkembangan historis yang sedang berlangsung di depan mata kita saat ini.

Manifesto tersebut juga memuat kalimat-kalimat yang luar biasa pentingnya sebagai berikut:

Kaum Komunis berbeda dari partai-partai buruh lainnya hanya dalam hal ini belaka: 1. Dalam perjuangan nasional kaum proletar di mancanegara, mereka menegaskan dan menekankan kepentingan bersama seluruh proletar independen dari bangsanya masing-masing; 2. Dalam setiap tahap perjuangan kelas buruh,m ereka selalu dan di mana-mana mewakili kepentingan umum dari seluruh gerakan buruh.

Pendek kata, Marxisme adalah teori untuk seluruh kelas buruh secara utuh, independen dari kepentingan jangka pendek dari berbagai golongan sektoral, nasional, dll. Oleh karena itu, Marxisme bertentangan dengan oportunisme politik, yang justru mengorbankan kepentingan umum seluruh kelas buruh demi tuntutan sektoral dan/atau jangka pendek.

Kita telah mengembangkan sebuah definisi sosial yang sekaligus historis. Definisi semacam itu juga sanggup untuk menjelaskan munculnya Marxisme di saat tertentu dalam sejarah. Eksploitasi serta penindasan sudah ada selama ribuan tahun, dan tahap pertama kapitalisme sudah timbul beberapa abad yangl alu, namun Marxisme tidak bisa berkembang sebelum sistem kapitalis mengembangkan alat-alat produksi serta kelas buruh sendiri, sampai akhirnyap otensi kelas tersebut yang mampu menjatuhkan sistem kapitalis bisa dilihatd engan jelas. Jangan lupa, Marx sendiri hanya menjadi "Marxis" setelah berkenalan dan bergaul dengan golongan buruh revolusioner di Paris tahun 1843. Baru saat itulah Marx menemukan "kelas dengan rantai radikal" dan menyatakan solider dengan kelas buruh itu.

Pendekatan terhadap asal-usul Marxisme ini sangat berbeda dengan pendekatan yang digunakan Kautsky dan Lenin pun (dalam karyanya "Apa Yang Harus Dilakukan" atau "What is to Be Done?"). Kautsky dan Lenin berargumentasi bahwa sosialisme harus disuntikkan ke dalam kelas buruh dari luar. MenurutK autsky, "sosialisme dan pertentangan kelas muncul bersama tetapi yang satut idak berasal dari yang lain … Golongan intelektual adalah wahana ilmu, bukan proletariat." Sedangkan menurut Lenin, "di Rusia teori sosial-demokrasi [artinya disini: sosialis] timbul secara independen dari perkembangan spontan gerakan kelas buruh; teori itu timbul sebagai hasil alamiah dari perkembangan pikiran golongan intelektual revolusioner." Dalam tulisan yang lain saya sudah berusaha membuktikan bahwa argumentasi ini salah, betapa jelek implikasinya, dan bahwa Lenin sendiri pendapatnya berubah sesudah mengalami aksi-aksi kaum buruh revolusioner tahun 1905. Argumentasi Kautsky dan Lenin ini merupakan materialisme kontemplatif seperti yang dikecam oleh Marx dalam tulisannya "Tesis Tentang Feuerbach".

Dalam Manifesto Komunis Marx memberikan penjelasan lain mengenai peranan golongan intelektual sosialis: "sebagian dari kaum ideologb orjuis yang mampu untuk mengerti perkembangan historis" membelot dari kelas kapitalis dan "menyeberang ke kubu proletariat". Yang jelas, mereka tidak bisa "menyeberang" ke sebuah golongan yang belum berkembang dan belum berdampak dalam perjuangan sosial (seperti di Rusia sebelum tahun 1905 -- saat Lenin menulis argumentasi yang salah itu).

Marxisme bukan hanya merupakan teori tentang perlawanan dan perjuangan kelas buruh melawan sistem kapitalis, tetapi juga tentang kemenangan gerakan sosialis. Aspek ini dikedepankan Marx saat menulis bahwa adanya kelas-kelas sosial serta pertentangan antar-kelas bukan penemuan baru:

Jauh-jauh hari kaum ahli sejarah borjuis sudah menggambarkan perkembangan konflik antar-kelas dan para ahli ekonomi menggambarkan anatomi ekonomi dari kelas-kelas itu. Hal baru yang saya buktikan, hanyalah: (1) adanya kelas-kelas sosial berkaitan dengan tahap-tahap historis tertentu; (2) bahwa perjuangan kelas buruh mengarah ke diktatur proletariat (3) bahwa diktaturt ersebut hanya merupakan fase peralihan ke penghapusan kelas-kelas itu dan ke pendirian sebuah masyarat tanpa kelas.

Lenin mengemukakan argumentasi yang sama bahkan secara lebih tegas dalam bukunya "Negara dan Revolusi". "Seorang Marxis," tulisnya, "adalah seorang yang memperluas pengakuan akan adanya perjuangan kelas buruh sampai ke pengakuan akan perlunya diktatur proletariat … Itulah batu ujian utama buat pengertian gagasan Marxis." Pernyataan Lenin ini diarahkan terutama kepadaK autsky, yang tampil selama beberapa dasawarsa sebagai pendekar Marxisme ortodoks, tetapi menolak revolusi sosialis yang benar-benar terjadi di Rusia. Namun pernyataan tersebut masih sangat relevan dewasa ini, saat tidak sedikit intelektual "berminat" pada sosialisme bahkan menggunakan Marxisme sebagai alat untuk menginterpretasikan kenyataan sosial, tetapi tidak antusias sama sekali untuk memakai teori serta praktek Marxis untuk memperjuangkan revolusi kelas buruh.

Sampai sekian jauh pengkajian kita tentang Marxisme sudah menunjukkan bahwa gagasan ini memuat tiga unsur penting: (1) Marxisme sebagai teori tentang kepentingan umum seluruh kelas buruh di tingkat internasional; (2) Marxisme sebagai hasil dari timbulnya proletariat moderen serta perjuangannya melawan kapitalisme; (3) Marxisme sebagai kemenangan revolusi kelas buruh.K etiga unsur ini bisa digabung dalam satu definisi: Marxisme sebagai teori revolusi proletariat internasional.